Hidup itu memang
selalu dihadapkan pada pilihan. Dan dengan pilihan tersebut kita bisa belajar
makna dan arti hidup. Dewasa itu ketika kita bisa memutuskan untuk memilih
pilihan dan tentunya bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Apa yang kita
putuskan untuk hidup ini tidak selalu menjadi yang terbaik, namun apa yang
Tuhan berikan dihidup ini pasti akan menjadi yang terbaik. Aku Hanum, cewek
berusia 19 tahun yang selalu berusaha untuk menerima hidup dengan apa yang
diberikan Tuhan. Aku terlahir sebagai wanita sempurna, dengan mempunyai fisik
dan keluarga yang bahagia. Sampai diumur 19 tahun ini, banyak sekali hal yang aku
temukan, salah satunya adalah cinta. Setiap manusia pasti memiliki rasa ini.
Rasa yang diberikan Tuhan untuk kita berikan lagi kepada makhluk ciptaannya.
Sampai saat ini, banyak sekali yang memberikanku cinta. Tuhan, orang tua,
keluarga, teman-teman, dan… kamu. Ya, kamu berhasil memberikanku warna baru
dikehidupanku.
Terkadang cinta itu
memang aneh, sulit untuk dipercaya dan
tidak masuk akal. Tapi, itulah cinta. Indah dan begitu sempurna. Orang-orang
akan merasa memiliki dunia yang baru, ketika mendapatkan cinta yang
diinginkannya. Aku bukan termasuk cewek yang mudah mencintai, dan menerima
suatu keadaan. Tapi, yang mesti semua orang tahu adalah, setiap manusia itu
akan mencintai pasangannya dengan tulus ketika ia benar-benar menemukan cintanya
yang tepat.
“Hanum… cepat
turun, bantu ibu memasak.” Teriakan ibu membuat jari tanganku berhenti menari
diatas notebook biru ku itu. Bagaimanapun perintah ibu merupakan hal
yang paling penting diatas segalanya.
Ya, karena bisa saja ibuku itu ngomel-ngomel satu hari penuh hanya
karena perintahnya tidak dilaksanakan. Selain itu, aku memang tahu kalau anak
yang baik itu memang tidak pernah membantah orang tuanya. “Aduuhh.. semoga aja
inspirasi menulisku tidak hilang begitu saja,” gerutuku sambil menyimpan file
dokumen. “Iya Bu.. tunggu sebentar.” Aku segera berlari
kecil, turun kebawah, melewati tangga demi tangga, sambil berharap semoga
inspirasi menulisku tidak hilang begitu saja.
“Lagi apa sih?
Betah banget kalo udah diem di kamar.” Aku memang termasuk cewek yang tidak
suka bermain keluar rumah. Jadi, setelah semua kegiatan diluarku selesai,
aku hanya ingin berada di rumah,
terutama dikamar tercintaku. “Biasa Bu, lagi nulis. Ibu sih malah manggil aku,
takut hilang nih inspirasinya,” jawabku sambil mengambil alih pekerjaan ibu.
Menulis merupakan
salah satu kegemaranku, bahkan menurut Ibu, waktu kecil dulu aku memang pandai
membuat cerita. Hampir disetiap tembok yang ada di rumah, aku penuhi dengan
tulisan dan gambar-gambar. Kata ibu sih, aku pintar sekali membuat gambar
Doraemon, salah satu film kartun kesukaanku waktu kecil sampai sekarang. Aku
selalu ingin mempunyai keluarga yang bahagia dan saling mencintai. Tidak heran,
kalau di tembok rumahku dulu banyak sekali gambar ibu, ayah, kakak dan aku.
Walaupun sama sekali tidak mirip, setidaknya aku bisa menggambarkan
ilustrasinya, pikirku. Namun hobi menggambarku itu telah kalah dengan hobiku
yang lain. Yups, hobi menulis. Dari kecil, ayah dan ibu selalu memberikanku
buku diary untuk aku isi dengan kegiatan sehari-hariku. Mungkin kalau aku
kumpulkan, sudah ada satu rak penuh buku diary yang aku tulis itu. Semua
tentangku dulu, mungkin sebagian kecil tercatat di buku-buku diary yang entah
sekarang ada dimana. Tentang keluarga, persahabatan dan cinta.
“Bu, udah beres
nih. Aku ke kamar lagi ya, nerusin tulisanku yang terpotong, mumpung masih ada
ide nya nih. Oke?” Aku mengedipkan mata, sambil terus berjalan meninggalkan
dapur, tanpa menunggu jawaban dari ibu.
Deni, mungkin cowok
pertama yang aku suka ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Aneh, tapi
memang nyata. Dihadapan semua orang, aku selalu bersikap seolah-olah tidak
menyukainya, namun ketika sendiri, aku selalu berangan-angan bersamanya, dengan
senyuman yang mungkin kalau ada yang melihatnya, aku bisa dikatakan setengah
waras. Deni, hanya sebatas cinta monyetku saja. Karena, memang pada
kenyataannya rasa itu hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Dan aku pun
mungkin hanya sebatas mengidolakannya saja. Singkat, namun berkesan, itulah
yang aku alami bersamanya.
Setelah Deni? Ada
Andro, teman SMP ku dulu. Walaupun kami tidak satu sekolah, tetapi sekolah kami
sangat berdekatan, dan mungkin berdengkepan. Ini nih cowok yang paling lama
dekat denganku. Lima tahun bukan waktu yang cepat kan? Ya, kami dekat hampir
lima tahun dan semuanya hambar, ketika aku memutuskan untuk menerima cintanya.
Sebelum menerimanya, aku selalu menanti-nantinya untuk menyatakan cintanya
kepadaku. Namun, setelah aku benar-benar bersamanya, yang aku rasakan hanyalah
sebatas sayang, bukan cinta. Sayang dan cinta tentu berbeda bukan? Aku
menyayanginya sebagai kakak, tidak lebih. Jika ada rasa takut kehilangan,
mungkin itu hanya takut kehilangan sosok kakak. Andro adalah pacar pertamaku.
Aku berani memutuskan untuk menerimanya, setelah keluar dari bangku SMA.
Hubungan kami sangat singkat, tidak seperti kedekatan kami yang bisa bertahun-tahun.
Drrttt ... drrtt...
Handphoneku
bergetar, tanda ada pesan masuk.
Zaky, cowok yang
baru ku kenal beberapa hari lalu terus saja menghubungiku.
Hai, lagi apa?
Kapan ya bisa ketemu lagi?
-Zaky- (bersambung)
Oleh : Retno Dyah
Pekerti
Komentar
Posting Komentar