Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Dilema Cinta (Part V)

By: Retno Dyah Pekerti   ZAKY ,   bisa kita bertemu sore nanti? Di kafe tempat kamu biasa nongkrong. Aku tunggu jam empat sore. Langsung aku mencari nama Zaky di ponsel hitamku itu. Sepertinya aku sudah mempunyai keputusan. Walaupun aku tidak yakin dengan keputusanku itu. “Semoga aku mengambil keputusan yang baik,” ucapku. Ardan dan kejadian malam itu membuatku berfikir keras, dan akhirnya berani mengambil keputusan. Ibu sudah mulai tenang, ayah mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Walaupun aku melihat ibu tidak percaya dengan apa yang dikatakan ayah, namun akhirnya perempuan yang kini berusia 50 tahun itu memaafkan kesalahan suaminya. Entah   apa yang dipikirkan ibu, beberapa kali ayah meminta maaf, dan semudah itu ibu memaafkannya. Walaupun jelas-jelas ia sudah tidak mempercayai imamnya itu. *** “Ky…” aku mengawali percakapan di kafe itu. Belum banyak pengunjung, karena memang kafe ini biasanya ramai di malam hari. Aku melihat Zaky se

Dibalik Ulang Tahun Tasik ^^

Kecerian itu saya dapatkan salah satunya dari kalian. Bersama crew Xpresi News (dari kiri - Tena, Saya, Rachmi, Ester) Saya tidak kalah muda dari kaliah kan? (Rachmi, Ester) Bahagia itu mudah! Selalu ingin terlihat ceria, walaupun ada sisi gelap dibalik itu semua. Semoga kita selalu bahagia dengan tujuan dan jalan hidup yang berbeda Pusing deh kalau udah dikejar DEADLINE!!

Dilema Cinta (Part IV)

Drrtt.. drrt.. HP ku bergetar diatas tumpukan buku dikamar. Sepulang dari kafe bersama Zaky, HP hitam itu enggan untuk bersuara dan bergetar. Ardan baru membalas pesanku tiga jam kemudian, dan ketika itu aku sudah ingin tertidur. Lagi dirumah Han. Kenapa emang? Dengan polosnya tanpa meminta maaf, Ardan baru membalas pesanku yang aku kirimkan sore tadi. Mood ku seketika itu juga hilang, yang awalnya berniat untuk tidur, aku urungkan dan ingin membalas pesan itu dengan tumpukan kekesalan. Tapi.. apa aku berhak untuk memarahinya?  Akhirnya malam itu aku habiskan dengan kekecewaan yang tidak berujung, tanpa membalas pesan Ardan. Aku teringat Zaky, yang sore tadi menunggu jawaban kepastian dariku. Malam itu aku berfikir keras, untuk memutuskan siapa yang nantinya akan mengisi relung kosong dihati ini. Zaky dengan segala kelebihan dan kekurangannya, perhatian dan pengertiannya selalu membuatku tenang. Ardan dengan sikapnya yang bisa membuat hatiku cepat mencair, tetapi dis

Dilema Cinta (Part III)

SIANG itu tidak banyak kegiatan yang aku lakukan. Hanya bergelumut dengan notebook dan beberapa tumpukkan buku. Udara panas disiang ini membuatku malas untuk pergi keluar. Untung saja siang ini tidak ada jadwal kuliah yang menantiku. Ada beberapa SMS dari Zaky dan Ardan. Ya, Ardan. Cowok baru yang mulai masuk dikehidupanku setelah Zaky. Baik, humoris, mudah bergaul dan pintar. Aku mengenalnya di toko buku yang biasa aku tongkrongi. Kami sama-sama menyukai buku psikologi. Kulitnya yang putih mempunyai kesan tersendiri dimataku. Mata hitam dibalik kacamatanya itu memancarkan sinar berbeda dari laki-laki pada umumnya. Sekilas aku menemukan sosok lelaki yang aku dambakan didalam dirinya. Tidak terlalu banyak gaya, dan mempunyai sikap. Untuk masalah fisik, Zaky memang pemenangnya. Walaupun aku mulai menyukainya, namun entah mengapa, aku tidak mempunyai keyakinan untuk memilihnya menjadi pengisi hatiku. Aku bukan tipikal cewek seperti pada umumnya, yang suka shoping bareng pacar,

Dilema Cinta Part II

ZAKY memang cowok yang baru aku kenal di kelas musikku beberapa hari yang lalu. Dia anak baru di tempat kursus musikku itu. Cukup baik, tampan dan sepertinya pintar. Tidak banyak yang aku tahu darinya, namun sepertinya dia yang selalu ingin tahu tentangku. Selalu menghubungiku, dengan pertanyaan yang menurutku tidak penting. Lagi nulis, nggak tahu! Send...   Seperti biasa, aku membalas pesannya dengan singkat. Anehnya, cowok itu tidak bosan sedikitpun untuk terus menghubungiku. *** Sesekali cobaan Tuhan memang sulit untuk dipahami. Terkadang ingin rasanya untuk menghilang, pergi untuk selamanya, tidak ingin tahu lebih luas tentang dunia yang penuh dengan sandiwara ini. Lagi-lagi ibu dan ayah membuat kepalaku terasa berat. Selalu saja seperti itu, ibu keluar dari kamarnya dengan mata yang sembap. ”Kenapa lagi bu?” tanyaku dengan hati-hati. ”Nggak. Ibu mau keluar dulu sebentar. Kamu jangan kemana-kemana!” Dahiku sedikit mengernyit. ”Mau kemana bu? Udah mau turun huj