Ahh rindu
itu memang benar-benar membuat bingung. Terkadang manis, namun pahit juga
sering sekali terasakan. Rindu benar-benar membuatku rindu pada kerinduan yang
sudah lama tidak aku dapatkan. Andai saja, Rindu ada didekatku, tak akan
kubiarkan ia pergi dari kerinduan ini.
Senja memang
manis, tetapi Rindu lebih sempurna. Rindu hadir, ketika aku merindukan Senja
yang dulu. Tidak, aku sama sekali tidak terfikir akan menemukan kerinduan
selain dari wanita yang selama ini telah membuatku menunggu. Aku rindu pada
Senja, namun dia semakin menjauh dari kerinduanku. Aku yakin tentang Senja, ia
berkata akan kembali secepatnya kepadaku. Namun, secepat apa ia akan kembali,
jika puluhan senja telah aku lewati tanpanya. Ya, tanpanya!
Aku bukan
lelaki yang mudah merindukan wanita lain, tapi Senja yang memaksaku untuk
mencari kerinduan lain. Entahlah, dia tidak pernah memberiku kabar, bahkan
sepucuk surat, yang konon lebih romantis, menurut orang lain. Sebelumnya memang
tidak pernah ada ikatan diantara kita. Baik aku, ataupun Senja, hanya ingin
saling menjaga dan melengkapi. Tidak seperti pasangan lain, yang membuat ikatan
ditanggal yang sudah direncanakan, atau tanggal yang dibuat lebih spesial dari
tanggal lain. Padahal, menurutku sama saja. Tanggal itu hanya dari satu sampai
tiga puluh, terkadang ada tanggal yang lebih, dan aku anggap itu sebagai
tanggal bonus.
Aku dan
Senja hanya bertemu dan meyakini satu sama lain, tidak ada pemberian bunga,
coklat ataupun kata-kata yang dibuat indah seumpama puisi. Aku dan Senja, hanya
menjalani takdir yang saat itu menghampiri kami, pada senja dan bisikan angin. Oh
iya, deburan ombak itu salah satu saksi takdir diantara kami.
Saat itu
aku hanya ingin menikmati senja, tanpa bermimpi akan menemukan Senja. Layaknya senja
di pantai timur, ia memang cantik dan manis. Siapa sangka, pertemuan kami itu
menjadi awal kerinduan ini.
“Senja.” Dia
mengulurkan tangan, layaknya orang yang mengajak berkenalan. Aku tidak sampai
berfikir untuk menolak uluran tangan itu, walaupun dalam jiwa bertanya-tanya,
kenapa ada wanita secantik senja, yang tiba-tiba menghampiri dan mengajakku
berkenalan.
Dia duduk disebelahku, padahal
tidak aku persilahkan sama sekali. Aku semakin heran, dan berfikir ada yang
salah dengan wanita bernama Senja itu. Kebingungan itu, membuatku lupa akan
namaku sendiri.
“Biru.” Ujarku
setelah beberapa putaran jarum jam detik dilenganku. Saat itu, kami hanya
menikmati senja, dan menunggu datangnya kerinduan. Aku mengenalnya, dan aku
merasa dekat. Kami menikmati senja, karena alasan yang sama.
“Aku
akan menunggumu, pada senja yang akan datang,” bisikku tepat ketika Senja beranjak.
Senja tersenyum, dan berkata samar yang hampir tidak aku dengar. “Esok kita akan bertemu kembali,” dengarku
sedikit ragu-ragu. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar