Langsung ke konten utama

That's You !

Lalu, adakah jurang yang lebih curam dari sebilah belati yang pernah kau tikamkan?
Sebelum ini, Cleo lebih dulu mengajakku bertemu, dan dengan yakin berucap ingin pergi jauh meninggalkaku. Alasannya tidak bisa aku terima dengan baik, tapi, lagi-lagi aku harus menerima semua keputusannya itu. Siapa aku, jika harus memelas kepadanya untuk bertahan dan memperjuangkanku. Aku sadar, itu terlalu egois jika dilakukan. Kenyataannya, kecewa itu datang karena sikap dia yang melepaskanku dengan mudah. Sangat mudah, hingga merelakanku untuk dekat dengan sahabatnya sendiri. Hebat!
Memang banyak lelaki yang mendekat, termasuk sahabat Cleo, Asha. Kedekatanku hanya berlangsung beberapa bulan saja, tanpa status. Akhirnya, aku memang belum bisa menerima orang baru. Sementara aku bangkit untuk berlari, selalu ada batu yang menghalangiku, membuatku terjatuh atau sakit menerima lemparan kecil namun terus menerus itu.
Sementara aku mulai terbiasa berjalan, walaupun belum berlari, kenangan selalu saja membuntutiku, dan membuatku kembali menoleh kebelakang. Dan lagi-lagi, terjatuh.
Asha memang baik, sungguh. Apa yang aku harapkan dalam diri Cleo, bisa aku temukan dalam dirinya. Aku nyaman untuk beberapa bulan bersamanya. Cleo? Dia membiarkanku bersama sahabatnya itu, sementara aku pun membiarkannya bersama orang lain. Selalu.
"Frey, aku tahu kamu masih berharap sama Cleo, kan?" Asha tiba-tiba mengagetkanku dengan pertanyaannya. Dalam sekejap, aku bilang tidak. Tidak dalam ucapanku.
"Lho, kenapa bilang seperti itu?" Tanyaku sambil mencari alasan untuk mengelak pernyataan Asha selanjutnya. "Kamu tidak bisa membohongi perasaanmu, Freya. Aku tahu itu, sudahlah, akui saja," Asha terlihat tenang menyampaikan keresahannya itu, mungkin telah ia persiapkan sebelumnya.
Belum sempat aku menjawabnya, Asha kembali berucap yang membuatku merasa bersalah. "Aku menyayangimu, Frey. Begitupula Cleo, dia hanya merelakanmu karena tidak ingin membuatku sakit. Tapi aku sadar, Frey. Kalian masih saling menyayangi, dan aku harus menerima kenyataan itu." Suara Asha mulai parau, wajahnya lebih serius dari biasanya.
"Maaf, Sha. Aku terlalu jahat jika memanfaatkanmu untuk melupakannya. Tapi aku tidak bisa jika terus menerus bersama bayang-bayang Cleo. Sementara aku selalu sakit ketika mendengar atau melihatnya bersama perempuan lain, aku hanya tidak ingin terlihat lemah, Sha. Aku ingin benar-benar lupa, tetapi itu masih saja sulit. Sha, maaf.." Berhasil, Asha berhasil membuat air mataku terjatuh, membuatku lemah dan menerima kenyataan.
"Hey Frey, kalau kamu masih menyanginya kenapa kalian tidak kembali bersama? Aku yakin, Cleo pasti menginginkan hal yang sama denganmu. Ayolah, kalian tidak usah egois seperti itu." Asha meraihku, meyakinkan ku dengan harapan yang telah usang.
"Enggak bisa, Sha. Dia tidak pernah bersungguh-sungguh mempertahankanku, aku nggak mau kembali jatuh di lubang yang sama, setelah beberapa kali aku terperangkap." Ucapku, masih dengan air mata yang berjatuhan.
"Tapi, Frey. Aku juga nggak bisa mempertahankanmu dengan kondisi ini. Aku terlalu egois jika memaksamu menjalani hubungan denganku. Aku sayang kamu, Freya. Aku juga sayang sahabtku, Cleo. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga di tengah orang-orang yang aku sayangi, Frey." Mata Asha mulai berlinang, aku tahu itu.
"Mungkin lebih baik aku menjauhi kalian, sampai aku benar-benar mampu berjalan sendiri. Terimakasih, Sha." Tetesan air mata itu segera aku hapus.
Benar saja, untuk beberapa bulan aku berhasil menjauh dari Cleo, Asha, juga teman-teman Cleo lainnya. Aku mulai bisa berlari kecil, walaupun masih sedikit kaku. Aku bisa, sungguh!
Jauh dari sahabat itu memang tidak menyenangkan, aku merindukan mereka. Dan pertemuan kembali aku rencanakan. Kami kembali berkumpul berenam, di sebuah tempat wisata, sore hari.
Masing-masing dari kami mempunyai cerita baru. Ya, terutama aku. Siapa sangka aku mulai dekat dengan pria bertubuh tinggi, yang bisa memberikanku kenyamanan hampir sama dengan yang diberikan Cleo. Dalam pertemuan itu, aku menceritakan Hans kepada sahabat-sahabatku. Aku lupa bagaimana menjaga perasaan Asha dan Cleo, yang saat itu juga raut mukanya beraroma pahit.
"Ya begitulah, saat ini kami hanya menjalaninya. Tanpa berstatus. Dia cukup mengerti aku." Ceritaku sambil tersenyum-senyum malu.
Asha dan Cleo, larut dalam perasaan masing-masing. Tanpa berkomentar apapun. Aku tidak tahu apa yang mereka rasakan.
bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya