Langsung ke konten utama

Ruang Rindu Part IV

Beberapa minggu setelah kedatangan Andito ke Tasik, Marini jatuh sakit. Karena hampir di sepanjang apa yang dilakukannya tidak pernah luput dari bayangan Andito. Andito memang cowok pertama yang bisa membuat Marini seperti itu. Entah apa yang telah cowok itu berikan, namun Marini memang tidak bisa melupakannya.

Setelah dikabari oleh Sheila bahwa Marini sedang dirawat di rumah sakit, Andito langsung panik dan bergegas pulang. Satu hari pun tidak pernah Andito lewatkan untuk sekedar memberikan pesan singkat ke Marini. Ada beberapa pesan yang dia balas, namun balasan pesannya itu hanya sekedar kata-kata “ya” dan “oke” saja, tidak lebih.

Andito berangkat Senin sore dari Bandung. Tidak banyak yang dia bawa, hanya laptop dan buku-buku tugas. Ya, walaupun Marini sangat penting baginya, bukan berarti tugas-tugas kuliah harus ia lewatkan begitu saja.

Sesampainya di terminal, Andito langsung mengirim pesan singkat kepada Sheila, untuk menanyakan nomor kamar dimana Marini dirawat.
Dikamar nomor berapa Shel? Aku baru nyampe terminal nih…
Pesan itu berhasil terkirim ke Sheila.

“Kenapa kamu malah sakit Rin? Maafin aku ….” ujar Andito sambil berjalan menuju angkutan umum yang berbaris di dekat terminal. Sepanjang perjalanan, Andito tidak henti-hentinya memikirkan Marini. Ia merasa sangat bersalah atas semua yang telah menimpa kekasihnya akhir-akhir ini. Andito selalu tahu bagaimana keadaan Marini dari Sheila. Bahkan perhatiannya yang sekarang itu lebih dari sewaktu mereka menjalin hubungan. Mungkin Andito mulai sadar seberapa penting dan berharganya Marini untuknya.

Sebenarnya, keduanya memang masih sangat mencintai dan tidak mau kehilangan, namun karena ego keduanya yang sama-sama tidak ingin kalah, menyebabkan hubungan mereka seperti itu.

Andito pun sebenarnya sempat sakit, mungkin salah satu penyebabnya karena hubungan yang telah ia jalani cukup lama itu mengalami masalah yang cukup besar. Tidak ada orang yang tahu kalau Andito sakit, bahkan ia pun sempat dirawat di rumah sakit.

Di kamar VIP no 303.

Ketika HP-nya bergetar, Andito langsung mengambilnya dan sesegera mungkin membacanya.

***
Sesampainya di rumah sakit, Andito sedikit ragu untuk masuk ke alamat kamar yang telah Sheila berikan. Ia takut mengganggu istirahat Marini, dan ia juga takut kondisi Marini akan semakin memburuk dengan kedatangannya itu. Namun keraguannya itu hilang begitu saja, ketika ibu Marini tidak sengaja bertemu dengannya di lobi rumah sakit.

“Eh nak Dito. Kapan pulang? Mau jenguk Rini ya?” tanya ibu berumur 43 tahunan itu.

“Eh iya bu. Marininya ada? Saya baru sampai Tasik barusan, langsung ke rumah sakit bu, hehehe,” jawab Andito sambil malu-malu.

“Waduh berarti belum istirahat ya? Ada di kamar Dit, kebetulan ada kamu. Ibu boleh minta tolong buat jagain Rini sebentar tidak? Ibu ada sesuatu yang mesti dibeli, dan Marini tidak ada yang menjaga.”

“Boleh bu kalau ibu tidak keberatan. Di kamar 303 ya?” tanya Andito memastikan.

“Iya, maaf ya nak jadi merepotkan. Ibu tidak lama kok,”

“Nggak apa-apa bu, saya senang bisa menjaga Marini,” akunya jujur.

Ibu yang berwajah tidak jauh dengan Marini itu tersenyum dan mengucapkan kata-kata selamat tinggal. Sebenarnya Ibunya itu tahu kalau hubungan Andito dan Marini sedang tidak baik, karena Marini selalu cerita ketika ia mendapatkan masalah. Tetapi ia tidak ingin ikut campur ke dalam masalah anaknya itu. Ia yakin anak terakhirnya itu bisa menyelesaikan masalah tanpa bantuannya.

Karena telah diberi izin oleh ibunya, Andito pun masuk ke kamar bercat biru itu. Raut muka sedih dan merasa bersalahnya tidak bisa ia sembunyikan, ketika melihat Marini terbaring lemah dengan infusan yang terpasang di tangannya, sekujur tubuhnya bergetar. Bahkan air mata Andito pun seperti akan menetes, namun akhirnya Andito bisa mengendalikan emosi dirinya sendiri.

Ketika Andito masuk, Marini memang sedang tertidur, karena kata ibunya, dia baru selesai diperiksa oleh dokter dan diberikan obat tidur untuk beristirahat. Andito hanya bisa memandangi wajah Marini yang terlihat pucat, ia memegang tangan Marini dan menciumnya.

“Maaf… maafin aku Rin.. kamu sembuh dong,” kali ini tetesan air mata Andito sepertinya sudah tidak kuat untuk dibendung lagi.

Dia benar-benar merasa bersalah, walaupun memang kesalahan tidak semuanya ada padanya, tetapi ia tetap bersi tegang menyalahkan dirinya sendiri.

Karena selama perjalanan ia tidak tidur, dan sebelumnya dia juga selalu tidur larut untuk mengerjakan semua tugasnya, akhirnya ia pun tertidur di kursi di pinggir ranjang Marini, sambil mendekap tangan Marini di bawah tangannya.

Nak Dito, sepertinya ibu akan sedikit telat untuk datang ke rumah sakit. Ada sedikit masalah di rumah, dan ibu harus menyelesaikannya terlebih dahulu. Nak Dito masih mau menjaga Marini kan? Sebelumnya ibu minta maaf…
(bersambung)
oleh : Retno Dyah Pekerti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya