Langsung ke konten utama

Ruang Rindu Part V

Andito terjaga dari tidurnya ketika menerima pesan dari ibu Marini. Ketika Andito terbangun, ternyata Marini sudah tidak ada di ranjangnya. Andito sempat panik, tetapi ketika mendengar suara air di dalam kamar mandi, ia langsung kembali tenang. Berpikir Marini ada di dalamnya.

“Rin, gimana sekarang keadaanmu? Maaf aku baru menjengukmu sekarang,” ucap Andito ketika Marini keluar dari kamar mandi.

Wajah Marini terlihat sangat datar, seperti tidak memperdulikan Andito. Tetapi di dalam lubuk hatinya, Marini senang karena Andito bisa pulang untuk menjenguknya. Jujur, Marinipun merasa rindu dan sangat kehilangan karena ia tidak bisa sedekat dulu dengannya.

“Ya nggak apa-apa. Makasih,” Marini menjawab ucapan Andito singkat.

Andito membantu Marini untuk berbaring kembali di tempat tidurnya. Walaupun Marini menolaknya, tetapi ia tetap bersi tegang untuk membantunya. Untuk beberapa menit tidak ada percakapan diantara keduanya, mereka terlarut dalam pikiran masing-masing dan canggung untuk mengeluarkan kata-kata.

“Rin maafin aku ya, kamu seperti ini mungkin karena aku. Kamu mau maafin aku kan?” akhirnya Andito memulai percakapan.

“Ya, aku maafin,” jawab Marini singkat dengan nada yang datar.

“Masa maafinnya gitu sih Rin? Kamu masih marah ya? Aku nggak maksa, kalau kamu memang belum bisa maafin aku, yang jelas aku nggak bakalan bosen untuk terus meminta maaf dan mencoba memperbaiki hubungan kita.” Kali ini raut muka Andito terlihat lebih tegar dan menerima apapun yang Marini lakukan

“Kamu dari kapan ada disini?” Marini mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Hmm… aku sampai Rumah Sakit jam 9. Tadi aku disuruh ibu untuk menjaga kamu sebentar, tetapi tadi ibu memberiku kabar, kalau dia baru bisa balik lagi kesini besok pagi. Maaf kalau istirahat kamu terganggu oleh kedatanganku,” jawab Andito.

Suasana mulai mencair ketika Andito menceritakan kisah cinta mereka ketika SMA dulu. Marini tersenyum dan tersipu malu. Anditopun sama, dia tertawa kecil, geli akan kisahnya dulu. Sampai akhirnya Marini kembali tertidur. Sepertinya Marini sudah bisa menerima kehadiran Andito lagi. Ketika Andito mendekap tangannya, senyum Marini seperti membuka jalan untuk hubungannya kembali seperti dulu lagi. Marini menerima pelukan hangat Andito, dan sungguh dia merasa lebih baik lagi dari sebelumnya. Andito sangat bahagia, karena Marini sedikit demi sedikit bisa menerimanya kembali.

Ketika Marini benar-benar terlelap dalam tidurnya, Andito membuka tasnya dan mengeluarkan laptop beserta tumpukan tugasnya. Dia mengerjakan tugas di meja yang sudah disediakan Rumah Sakit di kamar VIP tersebut.

“Nak Dito nggak tidur? Kenapa masih mengerjakan tugas?” tiba-tibu ibu Marini masuk kamar tanpa mengetuk pintunya dulu. Andito sempat kaget, tetapi akhirnya ia membalas senyum, sambil memperlihatkan tumpukan buku. Menandakan tugasnya tidak bisa ditunda lagi.

“Tadi sempet ketiduran di kursi bu. Tadi juga Marini sempat terbangun, dan kami berbincang sebentar,” jawab Andito ramah.

Subuh itu dilewatkan Andito dengan tumpukan tugas. Kali ini ia merasa sangat bahagia, karena tadi malam Marini sudah memaafkannya.

“Semoga tadi malam itu bukan mimpi,” batinnya.

“Maaf ibu jadi merepotkan nak Dito. Tadi ada sedikit masalah, jadi ibu harus menyelesaikannya dulu. Sampai di rumah, ibu harus menyiapkan sarapan dulu untuk orang-orang rumah,” ujar ibu Marini dengan nada bersalah.

“Nggak apa-apa bu, saya senang bisa menjaga Marini,” jawab Andito sambil tersenyum.

***

Selesai shalat Subuh, Andito pamit untuk pulang lagi ke Bandung. Dia hanya berpamitan ke ibu Marini saja, karena ia tidak mau mengganngu istirahat Marini.

“Sampaikan salam saya ke Marini ya bu, nanti saya pamit di telepon saja. Sebelumnya terimakasih bu,” Andito berpamitan sambil mencium tangan ibu Marini, sebagai tanda hormatnya.

Siapa sangka, di tengah perjalan Andito menuju Bandung, bus yang dia tumpangi mengalami kecelakaan. Empat orang tewas ditempat, dan Andito adalah salah satu penumpang yang selamat tetapi mengalami luka yang sangat parah. Kepalanya terbentur besi jembatan yang ditabrak bus tersebut. Pendarahan di kepalanya cukup serius, untung saja bantuan medis datang dengan cepat.

Awalnya Marini tidak tahu kalau Andito mengalami kecelakaan, namun keluarga Andito mengabarinya lewat telepon. Marini tidak percaya, namun keluarga Andito terus meyakinkannya. Marini hanya terkulai lemas ketika mendengar kabar itu, kondisinya yang belum stabil, membuatnya pingsang begitu saja.

Andito dirawat di rumah sakit Bandung, karena rumah sakit Tasik tidak ada yang sanggup menerimanya. Keesokan harinya, Marini memaksakan untuk menjenguk Andito di Bandung, karena ia cemas akan kondisi kekasihnya itu. Ia diantar supir pribadi dan kakak sulungnya. Ibunya tidak bisa ikut, karena harus mengurus pekerjaan dan rumahnya.

Kabar yang diberikan keluarga dan pihak rumah sakit, sangat membuat Marini hancur. Andito selamat, tetapi ia koma dan dokter tidak tahu kapan ia akan kembali sadar. Ia sangat menyesal karena kemarin sempat mengecewakannya, ia menyesal karena telah egois dan bertindak seperti anak kecil di pertengkarannya kemarin.

Ketika dokter mengijinkan untuk masuk, Marini memaksa keluarga Andito untuk memperbolehkannya masuk pertama, dan mereka bisa memahami keadaan Marini saat itu, ketika kakaknya menjelaskan terlebih dahulu.

“Dit… kok kamu malah ikutan sakit? Kemarinkan kamu yang nyuruh aku cepet-cepet sembuh. Sekarang aku udah sembuh Dit, aku mau baikan lagi sama kamu Dit. Ayo dong kamu bangun!” Marini terisak dan air matanya tidak berhenti untuk mengalir. Ia tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri, tangannya terus mengepal tangan Andito berharap dia akan bangun dan tersenyum padanya.

Sayang waktu untuk menjenguknya tidak banyak, dokter telah memberikan tanda supaya dia cepat keluar.

“Dit.. kamu harus dengar aku. Aku maafin kamu, aku mau kita kayak dulu lagi, aku janji nggak bakalan egois, aku janji bakalan ngertiin kamu dan menerima segala kekuranganmu. Aku mau kamu terus ada untukku Dit. Aku sakit tanpamu. Jadi aku mohon, kamu harus sembuh, kamu harus bisa ada untuk aku lagi Dit. Aku sayang dan nggak mau kehilangan kamu,” Marini mencium kening Andito dengan tangisnya yang semakin menjadi dan meninggalkan ruang rawat itu.

“Maafin aku Dit, aku janji, aku akan menunggumu sampai kamu kembali pulih dan mengingatku kembali. Aku janji….” ucap Marini sambil berlalu meninggalkan ruang ICU tersebut. (tamat)
By: Retno Dyah Pekerti 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya