Pagi itu, mentari belum bercahaya penuh. Sinarnya masih
malu-malu menyembul dari balik cakrawala Pantai Santolo, diiringi dengan suara
ombak yang terdengar tidak sekeras pada malam hari. Walaupun namanya tidak
semasyur Pantai Kuta di Bali, nun jauh
di sana, namun
keheningan dan panorama di pantai ini bagiku memiliki kelebihan tersendiri.
Kata Ben, pantai ini masih
perawan, belum terjamah
oleh orang-orang yang ingin merusak keindahannya. Wisatawan yang berkunjung pun
masih terbilang sedikit. Mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dan perjalanan
yang terbilang berat, berkelok-kelok, membuat orang-orang enggan untuk mengunjungi
pantai yang menurutku eksotis ini. Padahal sepanjang jalan yang kulalui kemarin
benar-benar mengasyikkan.
Hamparan sawah, kebun teh, dan
hutan lebat nan rindang turut
menemani perjalananku menuju keindahan pantai
ini.
Kemarin Ara berjanji akan mengajakku ke Muara Cilauteureun. Konon, ceritanya, di
muara itu air laut tidak mengalir. Dan, fenomena itu hanya ada dua di dunia, di
Perancis dan di Indonesia. “Wow...!?”
kataku heran disertai bangga. Aku cukup penasaran dengan apa yang
diceritakan Ara kemarin sore itu.
Pagi ini, kami
berjanji untuk bertemu pukul 07.00, di
tempat pertama kali kami bertemu. Seraya
diliputi rasa cemas, khawatir Ara tak menepati janji, aku berusaha
meyakin-yakinkan diri sendiri dan berkata dalam hati, gadis itu pasti menepati
janji. Sinar matanya, yang kuperhatikan semenjak kemarin tak menyiratkan sedikit
pun kebohongan.
Aku sabar menunggui Ara di saung yang berada di
pinggir pantai. Bersantai sambil menunggu sunrise,
aku menyiapkan kamera untuk tidak
melewatkan moment penting pagi yang indah itu begitu saja. Hanya ada beberapa orang yang
melakukan hal serupa denganku. Memotret dengan kamera disimpan di atas besi-besi berkaki tiga. Aku siap menunggu
panorama indah selanjutnya yang akan diberikan oleh pantai ini. Muara yang
diceritakan Ara juga berhasil membuatku penasaran. Mulai rasa tidak
sabar menunggu Ara tiba menggoda pikiranku. Tapi, tak ada pilihan lain, selain menyabar-nyabarkan
diri, seraya berkata dalam hati, “Ara pasti menepati janji”.
Beberapa angle
berhasil aku tangkap dengan sempurna. Mentari
pagi
perlahan mulai merangkak naik, siap
bertugas menyinari bumi ini. ”15
menit lagi,” kataku cemas menanti bidadari yang baru saja kukenal. Terus
saja aku melihat arloji hitam yang menempel di pergelangan tangan kiriku. Sudah
satu jam lebih aku berada di saung ini. Walaupun tidak bosan dengan kecantikan yang
semakin lama semakin menakjubkan ini, tetapi tingkat penasaranku terhadap muara yang diceritakan Ara sudah tidak terbendung
lagi, terlebih aku juga sudah tidak sabar ingin melihat bidadari baru itu.
Tengah asyik
memotret keindahan panorama pantai, gadis
yang telah lama kutunggui itu muncul tiba-tiba
tepat
di depan kamera yang sedang mencari titik focus objeknya. Ara muncul dengan
senyuman terindahnya, dan jari telunjukku seperti tanpa perintah, langsung menekan tombol shutter, menangkap objek terindah
yang
amat langka itu. Gadis dengan ribuan keindahan
dan latar jutaan pesona yang tak tergantikan.
Ara mendekat, memberikanku
sekotak makanan dan minuman. “Sarapan dulu, Ken, perjalanan kita akan membutuhkan cukup
banyak tenaga,” katanya lemah lembut dengan penuh perhatian. Ara
membuka kotak makanan itu dan memintaku segera
memakannya.
“Kata ayah, kamu temannya Ben, ya?” tanya
Ara, sambil sibuk mencari sesuatu di dalam
tas coklatnya. Dia mengeluarkan foto dari dalam tasnya, dan menunjukkannya
kepadaku. “Ini kamu?” tanyaku dengan mulut yang masih sibuk mengunyah makanan yang dibawa Ara.
“Iya, itu foto aku
dan Ben waktu kecil. Dulu dia sering bermain ke sini, bahkan dia pernah bersekolah di sini juga,” jawabnya polos.
Ara menceritakan Ben sewaktu
kecil. Dia menganggap Ben seperti kakak kandungnya
sendiri. Rasa sayangnya, terlihat jelas ketika dia menceritakan bagaimana Ben
memperlakukannya. Ben tidak pernah bercerita tentang Ara. Hanya saja dia pernah
mengaku mempunyai saudara di sekitar pantai
ini.
“Tau aja, Ra, kalau
aku belum sarapan,” aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar
tidak membahas Ben melulu, yang sepertinya
aku mulai dihinggapi rasa cemburu. Lama-lama aku jadi gusar juga
mendengar Ara menceritakan Ben terus menerus.
“Tadi kata pelayan di
penginapan, kamu belum sarapan. Yaudah aku bawa aja makanannya,” jawabnya
tenang.
“Udah belum sarapannya? Yuk, keburu siang biar nggak
terlalu panas,” ajaknya seraya berdiri mendahului.
“Ok. Ini suapan terakhir, Ra,” sahutku. Lahapan terakhirku sedikit kupercepat agar
gadis itu tidak lama menunggu. Ara mulai merapihkan kotak makanan yang
dibawanya, dan menyodorkan minuman kepadaku. “Minum dulu, biar makanannya cepat
turun.” Aku benar-benar merasa istimewa berada di dekat Ara. Gadis
ini benar-benar penuh perhatian. Sempurna! Hatiku mulai berharap lebih kepadanya.
Sepanjang jalan kami habiskan
dengan bercerita. Kali ini aku mulai mengenal Ara dari sikap dan caranya
berbicara. Ara seperti pemandu wisataku.
Ia hampir mengetahui segala yang ada di pantai
ini. Ara juga mengajakku ke sebelah barat pantai ini. Kami
sepakat untuk mengunjungi Pulau Santolo. Untuk mencapai ke pulau itu, kami
harus menyeberangi Sungai Cilauteureun dengan menggunakan perahu. Pulau yang
akan kami kunjungi itu sebenarnya hanya berupa pantai berkarang yang dipisahkan
oleh Muara Cilauteureun. Sepanjang jalan aku tidak ingin melewati setiap momen
yang berharga. Tangan dan mataku terus sibuk memotret dan mencari objek yang indah. Sesekali kami
berfoto bersama di latar yang indah. Ara tidak terlihat kikuk berada bersamaku,
padahal kami baru saja saling mengenal. Aku mulai tahu alasan kejadian di
pinggir pantai sore itu. Alasan mengapa Ara menangis dan menyuruh lelaki
bertubuh ketat itu pergi. Semuanya masuk akal, dan diam-diam aku bahagia di atas lukanya. Kesempatan untuk memiliki Ara, mulai menggoda pikiranku.
“Ken mau berapa hari tinggal di sini?” tiba-tiba Ara menanyaiku dengan wajah
sedikit muram. Sempat aku senang dengan pertanyaan yang dilontarkannya, namun aku
juga ingat lusa aku harus kembali dengan segala aktivitas di tempat tinggalku.
Aku sebenarnya tidak
ingin meninggalkan segala keindahan di tempat ini, terlebih pergi meninggalkan
Ara. Tapi....
“Mungkin lusa, Ra,” jawabku
singkat sambil
memalingkan muka ke arah
lain, tanpa mencuri perhatian untuk melihat Ara
tersenyum kecewa, seperti ingin berujar sesuatu, tetapi ditahan.
Senja menyambut kami kembali ke
tepi pantai di mana kemarin bertemu. Rasanya, teramat singkat waktu yang kami lalui
bersama, namun rasa sayang sepertinya sudah menyelinap di antara hati
kami
berdua.
Butiran pasir kembali menjadi hamparan
tempat kami melepaskan rasa lelah. Kali ini kami berbaring bersama, melihat atap langit-langit yang siap mengganti warnanya
menjadi kemerahan. Kami larut dalam pikiran dan lamunan masing-masing. Sejak percakapan tentang waktu kepulangaku itu, kami tidak banyak
berbicara. Lebih banyak berdiam dan hanya menikmati apa yang kami lihat. Aku menangkap rasa kecewa yang membalut hati Ara.
Sepertinya kecewa karena tak bisa lebih lama bersama. Sebenarnya, andaikan
bisa, aku
ingin waktu berhenti untuk berputar ketika aku dan Ara bersama. Agar bisa tinggal bersama lebih lama. Tapi, apa daya....
Sore itu, dengan langit
kemerahan dihiiasi beberapa burung camar yang
berterbangan, aku mengungkapkan perasaanku padanya. Tak
banyak waktu yang kumiliki. Aku akan segera meninggalkan tempat yang indah ini, dan
mau tak mau aku harus mencoba untuk
tidak menyia-nyiakan peluang yang
ada. Aku ingin menjadi kekasihnya. Soal hasil, mungkin itu urusan nanti.
Aku hanya tidak ingin kesempatan itu berlalu
begitu saja, tanpa makna. Gadis yang membuatku terpesona dengan segala keindahan yang dimilikinya itu takkan kubiarkan siapa pun menyakitinya.
“Ra?,” panggilku lembut. Ia segera menyudahi tatapannya pada langit-langit
yang menghiasi bola matanya, dan beralih menatapku. Kami masih berbaring di
hamparan pasir-pasir putih itu. Deburan ombak seperti lantunan merdu yang
menghiasi pendengaran kami. Walaupun aku berharap Ara sudi menerimaku, namun
aku juga paham dengan apa yang baru dialaminya. Ara masih saja menatapku,
sementara aku tidak berani menatap balik matanya. Aku terlalu pengecut untuk
mendengar dan melihat kekecewaan yang akan disampaikannya.
“Ken, aku terlalu takut untuk
kehilangan lagi,” tiba-tiba Ara
mengejutkan kepengecutanku. “Maksudmu?,” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan
keterkejutanku. Kali ini dengan segala kekuatan yang sudah aku
kumpulkan, aku berbalik menatapnya, menyelusup ke dalam
celah-celah mata indahnya. Lagi-lagi Ara meneteskan air mata itu. Aku bingung,
apakah aku telah melukai hatinya lagi? “Kamu takut kehilangan siapa Ra?,” tanyaku
sambil kembali
mengusap air matanya. Ara hanya diam, merelakan apa yang aku lakukan. Tidak
seperti sore kemarin, ketika aku mengusap air matanya untuk pertama kali. “Satu
persatu orang yang aku sayang pergi meninggalkanku. Besok
kamu juga akan melakukan hal yang sama,
seperti mereka. Meninggalkan aku
sendirian di sini,” paparnya
sedih. Pandangan
Ara dialihkannya menatap langit-langit kembali. Tatapan kosong itu, lagi-lagi
aku lihat di mata gadis itu. Aku tidak tahu apa yang mesti aku ucapkan. Apa
yang Ara katakan memang benar adanya, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi,
bukan berarti pergi untuk meninggalkannya.
“Ra, aku pergi bukan untuk
meninggalkanmu,” kataku seraya kuraih tangan
mungilnya dengan lembut. Tapi,
Ara
melepaskan tanganku, dia bangkit untuk
duduk. Kembali melihat lautan yang berubah warna menjadi kemerahan karena
pantulan senja kala.
“Dulu, Ben juga bilang seperti
itu. Tapi dia tidak pernah kembali lagi.
Sekarang kamu mengatakan hal yang sama. Pasti akhirnya juga akan sama, kan?” katanya argumentatif.
Kali ini
aku jadi kesal dengan sahabatku itu.
Bodoh sekali dia tidak menepati janjinya, akhirnya aku yang terkena getahnya. “Ra, itu kan Ben. Aku bukan orang seperti Ben, yang mengingkari
janjinya. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut denganku. Aku kan juga
bisa
sering datang
ke tempat ini,” aku mencoba meyakinkan Ara dengan
segala yang kupunya. Ini memang terlalu cepat untuk kuucapkan, tetapi aku
sungguh tidak mau kehilangan gadis yang sedang duduk bersamaku merajut harapan ini.
Ara akhirnya menerimaku
setelah beberapa kali kuyakinkan. Hari terakhir, aku ditemani Ara untuk
menunggui sangkakala mentari
terbit. Para nelayan, sudah sedari tadi
melakukan
aktivitasnya, menarik jaring yang sudah ditebarkannya di malam hari. Kebanyakan masyarakat di sekitar sini bermata pencaharian sebagai
nelayan. Ayah Ara, selain mengelola penginapan, ia juragan ikan di daerahnya.
Bagi masyarakat di sekitar
sini, laut merupakan sumber rizki
utamanya. Sumber yang bisa menghidupi setiap keluarga sampai anak cucunya.
Pagi itu, seperti biasa
Ara menyiapkan makanan untukku. Kali ini, dia menemaniku untuk sarapan.
Menikmati segala yang alam berikan, menikmati detik-detik terakhir bersamaku di pantai ini. Suara teriakan nelayan
untuk menyambut sang fajar, dan segala keindahan akan selalu kurindukan.
“Ken, janjimu ku
pegang. Dan aku menunggumu untuk kembali ke tempat ini,” katanya sambil mendekat ke sampingku. Tak kusangka, dia menyandarkan kepalanya
di bahuku. Aku benar-benar bahagia
menikmati
segalanya di tempat ini. Hati kami telah berpagut. Esok penuh harapan.
***
Komentar
Posting Komentar