Langsung ke konten utama

Kejora Indah Pantai Santolo (Part II)



Pagi itu, mentari belum bercahaya penuh. Sinarnya masih malu-malu menyembul dari balik cakrawala Pantai Santolo, diiringi dengan suara ombak yang terdengar tidak sekeras pada malam hari. Walaupun namanya tidak semasyur Pantai Kuta di Bali, nun jauh di sana, namun keheningan dan panorama di pantai ini bagiku memiliki kelebihan tersendiri.
Kata Ben, pantai ini masih perawan, belum terjamah oleh orang-orang yang ingin merusak keindahannya. Wisatawan yang berkunjung pun masih terbilang sedikit. Mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dan perjalanan yang terbilang berat, berkelok-kelok, membuat orang-orang enggan untuk mengunjungi pantai yang menurutku eksotis ini. Padahal sepanjang jalan yang kulalui kemarin benar-benar mengasyikkan. Hamparan sawah, kebun teh, dan hutan lebat nan rindang turut menemani perjalananku menuju keindahan pantai ini.
Kemarin Ara berjanji akan mengajakku ke Muara Cilauteureun. Konon, ceritanya, di muara itu air laut tidak mengalir. Dan, fenomena itu hanya ada dua di dunia, di Perancis dan di Indonesia. “Wow...!?” kataku heran disertai bangga. Aku cukup penasaran dengan apa yang diceritakan Ara kemarin sore itu.
Pagi ini, kami berjanji untuk bertemu pukul 07.00, di tempat pertama kali kami bertemu. Seraya diliputi rasa cemas, khawatir Ara tak menepati janji, aku berusaha meyakin-yakinkan diri sendiri dan berkata dalam hati, gadis itu pasti menepati janji. Sinar matanya, yang kuperhatikan semenjak kemarin tak menyiratkan sedikit pun kebohongan.
Aku sabar menunggui Ara di saung yang berada di pinggir pantai. Bersantai sambil menunggu sunrise, aku menyiapkan kamera untuk tidak melewatkan moment penting pagi yang indah itu begitu saja. Hanya ada beberapa orang yang melakukan hal serupa denganku. Memotret dengan kamera disimpan di atas besi-besi berkaki tiga. Aku siap menunggu panorama indah selanjutnya yang akan diberikan oleh pantai ini. Muara yang diceritakan Ara juga berhasil membuatku penasaran. Mulai rasa tidak sabar menunggu Ara tiba menggoda pikiranku. Tapi, tak ada pilihan lain, selain menyabar-nyabarkan diri, seraya berkata dalam hati, “Ara pasti menepati janji”.
Beberapa angle berhasil aku tangkap dengan sempurna. Mentari pagi perlahan mulai merangkak naik, siap bertugas menyinari bumi ini. ”15 menit lagi, kataku cemas menanti bidadari yang baru saja kukenal. Terus saja aku melihat arloji hitam yang menempel di pergelangan tangan kiriku. Sudah satu jam lebih aku berada di saung ini. Walaupun tidak bosan dengan kecantikan yang semakin lama semakin menakjubkan ini, tetapi tingkat penasaranku terhadap muara yang diceritakan Ara sudah tidak terbendung lagi, terlebih aku juga sudah tidak sabar ingin melihat bidadari baru itu.
Tengah asyik memotret keindahan panorama pantai, gadis yang telah lama kutunggui itu muncul tiba-tiba tepat di depan kamera yang sedang mencari titik focus objeknya. Ara muncul dengan senyuman terindahnya, dan jari telunjukku seperti tanpa perintah, langsung menekan tombol shutter, menangkap objek terindah yang amat langka itu. Gadis dengan ribuan keindahan dan latar jutaan pesona yang tak tergantikan.
Ara mendekat, memberikanku sekotak makanan dan minuman. “Sarapan dulu, Ken, perjalanan kita akan membutuhkan cukup banyak tenaga,katanya lemah lembut dengan penuh perhatian. Ara membuka kotak makanan itu dan memintaku segera memakannya.
“Kata ayah, kamu temannya Ben, ya?” tanya Ara, sambil sibuk mencari sesuatu di dalam tas coklatnya. Dia mengeluarkan foto dari dalam tasnya, dan menunjukkannya kepadaku. “Ini kamu?” tanyaku dengan mulut yang masih sibuk mengunyah makanan yang  dibawa Ara.
“Iya, itu foto aku  dan Ben waktu kecil. Dulu dia sering bermain ke sini, bahkan dia pernah bersekolah di sini juga, jawabnya polos.
Ara menceritakan Ben sewaktu kecil. Dia menganggap Ben seperti kakak kandungnya sendiri. Rasa sayangnya, terlihat jelas ketika dia menceritakan bagaimana Ben memperlakukannya. Ben tidak pernah bercerita tentang Ara. Hanya saja dia pernah mengaku mempunyai saudara di sekitar pantai  ini.
“Tau aja, Ra, kalau aku belum sarapan,aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar tidak membahas Ben melulu, yang sepertinya aku mulai dihinggapi rasa cemburu. Lama-lama aku jadi gusar juga mendengar Ara menceritakan Ben terus menerus.
“Tadi kata pelayan di penginapan, kamu belum sarapan. Yaudah aku bawa aja makanannya,jawabnya tenang.
“Udah belum sarapannya? Yuk, keburu siang biar nggak terlalu panas, ajaknya seraya berdiri mendahului.
Ok. Ini suapan terakhir, Ra, sahutku. Lahapan terakhirku sedikit kupercepat agar gadis itu tidak lama menunggu. Ara mulai merapihkan kotak makanan yang dibawanya, dan menyodorkan minuman kepadaku. “Minum dulu, biar makanannya cepat turun.” Aku benar-benar merasa istimewa berada di dekat Ara. Gadis ini benar-benar penuh perhatian. Sempurna! Hatiku mulai berharap lebih kepadanya.
Sepanjang jalan kami habiskan dengan bercerita. Kali ini aku mulai mengenal Ara dari sikap dan caranya berbicara. Ara seperti pemandu wisataku. Ia hampir mengetahui segala yang ada di pantai ini. Ara juga mengajakku ke sebelah barat pantai ini. Kami sepakat untuk mengunjungi Pulau Santolo. Untuk mencapai ke pulau itu, kami harus menyeberangi Sungai Cilauteureun dengan menggunakan perahu. Pulau yang akan kami kunjungi itu sebenarnya hanya berupa pantai berkarang yang dipisahkan oleh Muara Cilauteureun. Sepanjang jalan aku tidak ingin melewati setiap momen yang berharga. Tangan dan mataku terus sibuk memotret dan mencari objek yang indah. Sesekali kami berfoto bersama di latar yang indah. Ara tidak terlihat kikuk berada bersamaku, padahal kami baru saja saling mengenal. Aku mulai tahu alasan kejadian di pinggir pantai sore itu. Alasan mengapa Ara menangis dan menyuruh lelaki bertubuh ketat itu pergi. Semuanya masuk akal, dan diam-diam aku bahagia di atas lukanya. Kesempatan untuk memiliki Ara, mulai menggoda pikiranku.
“Ken mau berapa hari tinggal di sini?” tiba-tiba Ara menanyaiku dengan wajah sedikit muram. Sempat aku senang dengan pertanyaan yang dilontarkannya, namun aku juga ingat lusa aku harus kembali dengan segala aktivitas di tempat tinggalku. Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkan segala keindahan di tempat ini, terlebih pergi meninggalkan Ara. Tapi....
“Mungkin lusa, Ra,jawabku singkat sambil memalingkan muka ke arah lain, tanpa mencuri perhatian untuk melihat Ara tersenyum kecewa, seperti ingin berujar sesuatu, tetapi ditahan.
Senja menyambut kami kembali ke tepi pantai di mana kemarin bertemu. Rasanya, teramat singkat waktu yang kami lalui bersama, namun rasa sayang sepertinya sudah menyelinap di antara hati kami berdua.
Butiran pasir kembali menjadi hamparan tempat kami melepaskan rasa lelah. Kali ini kami berbaring bersama, melihat atap langit-langit yang siap mengganti warnanya menjadi kemerahan. Kami larut dalam pikiran dan lamunan masing-masing. Sejak percakapan tentang waktu kepulangaku itu, kami tidak banyak berbicara. Lebih banyak berdiam dan hanya menikmati apa yang kami lihat. Aku menangkap rasa kecewa yang membalut hati Ara. Sepertinya kecewa karena tak bisa lebih lama bersama. Sebenarnya, andaikan bisa, aku ingin waktu berhenti untuk berputar ketika aku dan Ara bersama. Agar bisa tinggal bersama lebih lama. Tapi, apa daya....
Sore itu, dengan langit kemerahan dihiiasi beberapa burung camar yang berterbangan, aku mengungkapkan perasaanku padanya. Tak banyak waktu yang kumiliki. Aku akan segera meninggalkan tempat yang indah ini, dan mau tak mau aku harus mencoba untuk tidak menyia-nyiakan peluang yang ada. Aku ingin menjadi kekasihnya. Soal hasil, mungkin itu urusan nanti. Aku hanya tidak ingin kesempatan itu berlalu begitu saja, tanpa makna. Gadis yang membuatku terpesona dengan segala keindahan yang dimilikinya itu takkan kubiarkan siapa pun menyakitinya.
“Ra?,” panggilku lembut. Ia segera menyudahi tatapannya pada langit-langit yang menghiasi bola matanya, dan beralih menatapku. Kami masih berbaring di hamparan pasir-pasir putih itu. Deburan ombak seperti lantunan merdu yang menghiasi pendengaran kami. Walaupun aku berharap Ara sudi menerimaku, namun aku juga paham dengan apa yang baru dialaminya. Ara masih saja menatapku, sementara aku tidak berani menatap balik matanya. Aku terlalu pengecut untuk mendengar dan melihat kekecewaan yang akan disampaikannya.
“Ken, aku terlalu takut untuk kehilangan lagi,” tiba-tiba Ara mengejutkan kepengecutanku. “Maksudmu?,” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan keterkejutanku. Kali ini dengan segala kekuatan yang sudah aku kumpulkan, aku berbalik menatapnya, menyelusup ke dalam celah-celah mata indahnya. Lagi-lagi Ara meneteskan air mata itu. Aku bingung, apakah aku telah melukai hatinya lagi? “Kamu takut kehilangan siapa Ra?,tanyaku sambil kembali mengusap air matanya. Ara hanya diam, merelakan apa yang aku lakukan. Tidak seperti sore kemarin, ketika aku mengusap air matanya untuk pertama kali. “Satu persatu orang yang aku sayang pergi meninggalkanku. Besok kamu juga akan melakukan hal yang sama, seperti mereka. Meninggalkan aku sendirian di sini,” paparnya sedih. Pandangan Ara dialihkannya menatap langit-langit kembali. Tatapan kosong itu, lagi-lagi aku lihat di mata gadis itu. Aku tidak tahu apa yang mesti aku ucapkan. Apa yang Ara katakan memang benar adanya, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi, bukan berarti pergi untuk meninggalkannya.
“Ra, aku pergi bukan untuk meninggalkanmu,” kataku seraya kuraih tangan mungilnya dengan lembut. Tapi, Ara melepaskan tanganku, dia bangkit untuk duduk. Kembali melihat lautan yang berubah warna menjadi kemerahan karena pantulan senja kala.  
“Dulu, Ben juga bilang seperti itu. Tapi dia tidak pernah kembali lagi. Sekarang kamu mengatakan hal yang sama. Pasti akhirnya juga akan sama, kan?katanya argumentatif.
Kali ini aku jadi kesal dengan sahabatku itu. Bodoh sekali dia tidak menepati janjinya, akhirnya aku yang terkena getahnya. “Ra, itu kan Ben. Aku bukan orang seperti Ben, yang mengingkari janjinya. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut denganku. Aku kan juga bisa sering datang ke tempat ini,” aku mencoba meyakinkan Ara dengan segala yang kupunya. Ini memang terlalu cepat untuk kuucapkan, tetapi aku sungguh tidak mau kehilangan gadis yang sedang duduk bersamaku merajut harapan ini.
Ara akhirnya menerimaku setelah beberapa kali kuyakinkan. Hari terakhir, aku ditemani Ara untuk menunggui sangkakala mentari terbit. Para nelayan, sudah sedari tadi melakukan aktivitasnya, menarik jaring yang sudah ditebarkannya di malam hari. Kebanyakan masyarakat di sekitar sini bermata pencaharian sebagai nelayan. Ayah Ara, selain mengelola penginapan, ia juragan ikan di daerahnya. Bagi masyarakat di sekitar sini, laut merupakan sumber rizki utamanya. Sumber yang bisa menghidupi setiap keluarga sampai anak cucunya.
Pagi itu, seperti biasa Ara menyiapkan makanan untukku. Kali ini, dia menemaniku untuk sarapan. Menikmati segala yang alam berikan, menikmati detik-detik terakhir bersamaku di pantai ini. Suara teriakan nelayan untuk menyambut sang fajar, dan segala keindahan akan selalu kurindukan.  
“Ken, janjimu ku pegang. Dan aku menunggumu untuk kembali ke tempat ini,katanya sambil mendekat ke sampingku. Tak kusangka, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku benar-benar bahagia menikmati segalanya di tempat ini. Hati kami telah berpagut. Esok penuh harapan.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya