Deburan ombak berhasil
memecahkan keheningan dan mengusir penat yang menggelayut di otakku.
Laut nan biru
dan pasir putih membuatku takjub akan keindahan
dan kekayaan
alam ini. Siang itu, langit tampak lebih cerah daripada biasanya. Tarian
burung-burung camar di angkasa yang sesekali menyambar wajah laut semakin memperindah
suasana. Betapa indahnya karunia
Tuhan ini.
Di balik keindahan yang alam berikan, mataku
berhenti pada titik di mana
seorang gadis berambut sebahu berkecipak
sibuk
bermain air. Tiupan angin yang tak
dihiraukan itu membuat rambut gadis bagai
melambai-lambai padaku. Namun, justru saat
itulah dia terlihat lebih cantik daripada yang sesungguhnya. Sinar
matanya yang sayu menyiratkan beban jiwa
yang mengharu-biru pikirannya.
Lama aku terjebak dalam nikmat pengaguman. Mataku
seolah enggan beranjak dari objek indah yang ditangkapnya. Bak kamera yang selalu mencari titik focus
objeknya. Antara sadar dan tak sadar,
mataku
pun seperti itu, mencari sudut
pandang yang tepat. Dan, kini objek
itu persis berada pada titik focus yang ideal. Tak kusia-siakan: jepret! Aku pun mengabadikannya
dalam bidikan mata hatiku.
Benar
saja, hati
ini terus memaksaku
untuk mendekatinya. Namun,
pikiranku terlalu sibuk memikirkan hal yang belum pasti akan terjadi. Nyaliku
ciut, ketika ada lelaki menghampiri gadis itu dan memeluknya dari belakang.
Sesal yang bertubi-tubi menyeruak dalam hatiku. Tumpahan kekesalan kusalurkan kepada pasir-pasir
yang kuinjak-injak.
“Bodoh sekali aku!,”
cercaku pada diri sendiri. Merasa menjadi laki-laki pengecut dan tidak jantan menghadapi kenyataan.
Sebagai
kompensasi, fokusku kembali kualihkan pada
panorama alam yang indah, yang
menjadi tujuanku ke tempat ini. Tapi, hati tak lagi mau diajak kompromi.
Konsentrasiku buyar. Hati dan pikiranku masih saja kesal dengan sikap
yang kuperbuat sendiri.
Tiba-tiba
deburan
ombak yang kudengar, pecah begitu saja oleh
teriakan gadis di tepi pantai itu. Jarakku memang hanya sekitar 10 meter dengan gadis
bermata indah itu. Teriakannya yang cukup keras dan dibalut kemarahan atau kekesalan, membuat aku
sedikit terperanjat dan membuyarkan konsentrasiku yang setengah hati.
Kini, mau
tidak mau, aku harus kembali
mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada gadis
dengan lelaki bertubuh ketat itu. Nampaknya gadis itu mulai menangis, isakan yang aku dengar semakin
menjadi-jadi dengan
selingan cercaan dan caci-maki yang dilontarkan melalui bibirnya yang mungil.
“Aku
bilang, pergi! Pergi! Jangan
pernah kamu kembali lagi!. Aku tak
sudi melihat tampangmu lagi. Ngerti?,” hardiknya disertai dorongan tangan mungilnya ke dada lelaki itu. Namun, ternyata
sia-sia
saja apa yang diperbuat. Tidak sedikitpun lelaki itu menggeser tubuhnya.
Malahan, gadis itu yang tampaknya terpental oleh
tenaganya sendiri. Dia terduduk di atas
pasir, tangannya mencengkeram
ribuan butir pasir putih itu, lalu
melepaskannya dengan kesal. Air matanya mulai menetes, dan saat itu ombak
menghampirinya seperti sang pawana
membawa tetesan air mata itu untuk bergabung.
Aku hanya bisa menyaksikan
kejadian itu dengan bisu. Tidak ada yang bisa kuperbuat. Gadis itu sama sekali
tidak kukenal, apalagi lelaki bertato di lengan kirinya itu. Kalau aku mendekat, mungkin suasana akan lebih buruk, pikirku. Jadi, kuurungkan saja niat
untuk menjadi pahlawan bagi gadis itu, sambil berharap semoga lelaki itu segera
pergi meninggalkannya agar keindahan itu
makin sempurna.
Santolo tidak
seperti kebanyakan pantai yang
selama ini kukenal. Bukan karena baru pertama kali kukunjungi, tapi aku
merasakan ada sesuatu yang menyebabkan perbedaan itu. Pasir putihnya yang
terhampar bak permadani, panoramanya nan indah alami bagai tamansari, dan – ini
yang semakin menyempurnakan keindahannya – kehadiran gadis mungil yang
rambutnya selalu melambai-lambai ke arahku. Garut layak bangga memiliki pantai
seindah ini. Barangkali karena itulah mengapa sahabatku, Ben, menyarankan agar aku
mengunjungi tempat istimewa ini.
Memang baru
beberapa jam yang lalu aku sampai di pantai ini, tetapi sudah banyak kenikmatan
suasana dan keindahan panorama yang
aku dapatkan. Deburan ombak, pantai yang biru, pasir yang putih, dan gadis
berambut sebahu itu. Semua berjalan
beriringan mengikuti irama sinkronitas yang sempurma.
Harapanku
agaknya akan makin paripurna. Setelah sesaat mereka nampak terlibat percakapan,
entah
apa yang ia bicarakan, lelaki berkaus putih ketat itu akhirnya pergi meninggalkan gadis yang telah menambat hati dan pikiranku. Sempat
ia melirik kearahku, dan menyunggingkan senyum ketus seolah mencemooh diriku. “Huh...!
Pantas
saja gadis itu menghardiknya,” ucapku
dalam hati.
Beberepa menit masih saja aku
habiskan untuk menikmati
keindahan gadis itu dari kejauhan, sebelum akhirnya kuberanjak memberanikan diri untuk menghampirinya. Tentu saja setelah kukumpulkan seluruh keberanianku.
Serta-merta, aku langsung duduk saja di sampingnya,
tanpa meminta izin lebih dulu.
Nampaknya gadis itu pun tak
keberatan atas kehadiranku di situ. Dia masih menatap kosong lautan nan luas.
Matanya yang indah terlihat sayu. Sekilas pandang menyiratkan kekecewaan yang mendalam.
Aku berdecak, selain mengagumi keindahannya juga kumaksudkan memberikan
kode bahwa ada makhluk lain yang hadir
di sampingnya. Matanya, melirikku dengan sekilas,
tampak seperti mengacuhkanku. Wajahnya sedikit menyiratkan keberatan, mungkin
dia merasa terganggu akan kedatanganku
atau boleh jadi hanya karena malu. Ah, gejolak ingin mendekatinya
terlanjur kuat, dan aku harus mengenal gadis ini, pikirku memastikan. “Sabar.” Tanpa sengaja ucapan
itu keluar dari mulutku. Lagi-lagi gadis itu melirikku, namun kali ini senyuman
memperindah lirikannya. “Ada
apa?” tanyanya kepadaku sekenanya.
Matanya kembali menatap kosong,
masih ada sisa tangis di pipinya. “Maaf,” sambil kuulurkan tanganku untuk
menghapus air mata di
pipinya yang lembut. Gadis
itu kaget, dan seperti tidak suka dengan
apa yang baru saja kuperbuat. Tubuhnya menggeser dari sampingku, dan berniat
berdiri meninggalkan kekesalan kepadaku.
“Aku Ken, maaf kalau sudah
menggangumu.” Sepertinya perkenalanku berhasil mengurungkan niatnya untuk
beranjak pergi.
“Namaku Kensya Adiguna,” kuulangi penyebutan nama lengkapku. Dia tersenyum, tangan mungilnya menggerayangi sesuatu
dalam tas kecilnya. Rambutnya yang hitam,
benar-benar memperjelas kecantikannya. Sehelai tisue berhasil dia keluarkan, untuk menghapus sisa-sisa tangis yang sempat meleleh di pipinya. “Maaf tadi aku lancang menghapus air
matamu,” pintaku
terlontar kembali. Gadis itu hanya meresponku dengan senyuman, dan kembali
melanjutkan lamunan kosongnya ke
samodera nan luas.
“O, ya, yang tadi pacarmu, ya ...?
Kenapa, kok sepertinya sedang ada masalah?” walaupun terdengar tidak sopan dan
sok tahu, tetapi aku berharap perkataanku itu bisa mencairkan suasana, dan
mendengar dia
berbicara. “Mantan,” jawabnya singkat, tanpa berniat melanjutkannya. “Aku boleh tahu namamu?” pertanyaanku terdengar
seperti basa-basi, namun itulah yang sedari tadi ingin kutanyakan.
Dengan sendirinya, gadis itu
mengulurkan tangannya sembari mengucap nama yang terdengar indah di telingaku.
“Kejora.
Orang-orang memanggilku, Ara.” Pertanyaanku tadi, sepertinya mulai mencairkan
suasana di antara kami. Kini, gadis itu, Ara, terlihat lebih tenang walaupun dengan senyuman
yang masih terlihat dipaksakan.
Detik, menit, dan jam berganti. Perlahan kulihat
langit berwarna kemerahan, memancarkan sinar yang teramat indah. Mentari nampaknya mulai kelelahan dan perlahan
mulai menghilang seperti tenggelam di dalam
lautan Pantai Santolo. Kami masih duduk berdua di tepi pantai, menikmati
panorama indah yang baru pertama kali aku nikmati.
Sepertinya Ara sudah terbiasa
dengan pemandangan yang dilihatnya. Dia tersenyum menatap lurus, menenggelamkan
matanya mengikuti mentari yang berjalan
kelelahan. Wajahnya tersinari oleh seberkas cahaya mentari yang menjelang masuk peraduan. Bulu mata yang lentik,
memperindah matanya walaupun terkejap. Aku terpesona dengan segala keindahan
yang ada di pantai ini. Ben, tidak salah menyarankanku pergi ke tempat yang
indah ini. Dan aku, sangat beruntung karena mendapat keindahan dua kali lipat,
karena bertemu dengan Ara. Gadis
manis yang telah menambat fokus perhatianku.
“Ra,” panggilku, yang mulai kuakrab-akrabkan,
membuyarkan
kenikmatan lamunan yang
sedang dirasakannya. Ara membuka matanya perlahan, menatapku beberapa detik
lalu berdiri dan mendekati air pantai. Tatapan matanya menyiratkan
ajakan kepadaku untuk menikmati sore yang sebentar lagi
akan berganti dengan tiupan angin malam. Mata kakinya mulai tenggelam oleh
ombak yang semakin lama semakin mendekatinya.
Belum banyak kami bercerita,
namun sepertinya kami mulai benar-benar
akrab
dan nyaman. Ara yang sebelumnya dengan tetesan air mata, sekarang berubah
menjadi gadis dengan senyuman yang menawan. Lesung pipinya adalah penghias
tambahan alami di wajah manisnya.
Aku diberitahu Ben untuk
menginap disalah satu hotel milik saudaranya. Walaupun fasilitas yang diberikan
tidak semewah dengan hotel yang berada di pantai lainnya, namun bukan masalah
bagiku. Ara yang mengantarku ke penginapan ini, ternyata dia adalah puteri dari saudarnya Ben, pemilik penginapan itu. Tidak perduli apakah
Ara sudah memiliki kekasih atau tidak, yang jelas aku tidak ingin jika salah
satu keindahan pantai ini, termasuk
keindahan yang terpancar dari diri Ara, hilang begitu saja. (bersambung)
***
Komentar
Posting Komentar