Langsung ke konten utama

Kejora Indah Pantai Santolo


Deburan ombak berhasil memecahkan keheningan dan mengusir penat yang menggelayut di otakku.  Laut nan biru dan pasir putih membuatku takjub akan keindahan dan kekayaan alam ini. Siang itu, langit tampak lebih cerah daripada biasanya. Tarian burung-burung camar di angkasa yang sesekali menyambar wajah laut semakin memperindah suasana. Betapa indahnya karunia Tuhan ini.
Di balik keindahan yang alam berikan, mataku berhenti pada titik di mana seorang gadis berambut sebahu berkecipak sibuk bermain air. Tiupan angin yang tak dihiraukan itu membuat rambut gadis bagai melambai-lambai padaku. Namun, justru saat itulah dia terlihat lebih cantik daripada yang sesungguhnya. Sinar matanya yang sayu menyiratkan beban jiwa yang mengharu-biru pikirannya.
Lama aku terjebak dalam nikmat pengaguman. Mataku seolah enggan beranjak dari objek indah yang ditangkapnya. Bak kamera yang selalu mencari titik focus objeknya. Antara sadar dan tak sadar, mataku pun seperti itu, mencari sudut pandang yang tepat. Dan, kini objek itu persis berada pada titik focus yang ideal. Tak kusia-siakan: jepret! Aku pun mengabadikannya dalam bidikan mata hatiku.
Benar saja, hati ini terus memaksaku untuk mendekatinya. Namun, pikiranku terlalu sibuk memikirkan hal yang belum pasti akan terjadi. Nyaliku ciut, ketika ada lelaki menghampiri gadis itu dan memeluknya dari belakang. Sesal yang bertubi-tubi menyeruak dalam hatiku. Tumpahan kekesalan kusalurkan kepada pasir-pasir yang kuinjak-injak. “Bodoh sekali aku!,” cercaku pada diri sendiri. Merasa menjadi laki-laki pengecut dan tidak jantan menghadapi kenyataan.
Sebagai kompensasi, fokusku kembali kualihkan pada panorama alam yang indah, yang menjadi tujuanku ke tempat ini. Tapi, hati tak lagi mau diajak kompromi. Konsentrasiku buyar. Hati dan pikiranku masih saja kesal dengan sikap yang  kuperbuat sendiri.
Tiba-tiba deburan ombak yang kudengar, pecah begitu saja oleh teriakan gadis di tepi pantai itu. Jarakku memang hanya sekitar 10 meter dengan gadis bermata indah itu. Teriakannya yang cukup keras dan dibalut kemarahan atau kekesalan, membuat aku sedikit terperanjat dan membuyarkan konsentrasiku yang setengah hati.
Kini, mau tidak mau, aku harus kembali mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada gadis dengan lelaki bertubuh ketat itu. Nampaknya gadis itu mulai menangis, isakan yang aku dengar semakin menjadi-jadi dengan selingan cercaan dan caci-maki yang dilontarkan melalui bibirnya yang mungil.
Aku bilang, pergi! Pergi! Jangan pernah kamu kembali lagi!. Aku tak sudi melihat tampangmu lagi. Ngerti?,hardiknya disertai dorongan tangan mungilnya ke dada lelaki itu. Namun, ternyata sia-sia saja apa yang diperbuat. Tidak sedikitpun lelaki itu menggeser tubuhnya. Malahan, gadis itu yang tampaknya terpental oleh tenaganya sendiri. Dia terduduk di atas pasir, tangannya mencengkeram ribuan butir pasir putih itu, lalu melepaskannya dengan kesal. Air matanya mulai menetes, dan saat itu ombak menghampirinya seperti sang pawana membawa tetesan air mata itu untuk bergabung.
Aku hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan bisu. Tidak ada yang bisa kuperbuat. Gadis itu sama sekali tidak kukenal, apalagi lelaki bertato di lengan kirinya itu. Kalau aku mendekat, mungkin suasana akan lebih buruk, pikirku. Jadi, kuurungkan saja niat untuk menjadi pahlawan bagi gadis itu, sambil berharap semoga lelaki itu segera pergi meninggalkannya agar keindahan itu makin sempurna.
Santolo tidak seperti kebanyakan pantai yang selama ini kukenal. Bukan karena baru pertama kali kukunjungi, tapi aku merasakan ada sesuatu yang menyebabkan perbedaan itu. Pasir putihnya yang terhampar bak permadani, panoramanya nan indah alami bagai tamansari, dan – ini yang semakin menyempurnakan keindahannya – kehadiran gadis mungil yang rambutnya selalu melambai-lambai ke arahku. Garut layak bangga memiliki pantai seindah ini. Barangkali karena itulah mengapa sahabatku, Ben, menyarankan agar aku mengunjungi tempat istimewa ini.
Memang baru beberapa jam yang lalu aku sampai di pantai ini, tetapi sudah banyak kenikmatan suasana dan keindahan panorama yang aku dapatkan. Deburan ombak, pantai yang biru, pasir yang putih, dan gadis berambut sebahu itu. Semua berjalan beriringan mengikuti irama sinkronitas yang sempurma.
Harapanku agaknya akan makin paripurna. Setelah sesaat mereka nampak terlibat percakapan, entah apa yang ia bicarakan, lelaki berkaus putih ketat itu akhirnya pergi meninggalkan gadis yang telah menambat hati dan pikiranku. Sempat ia melirik kearahku, dan menyunggingkan senyum ketus seolah mencemooh diriku. “Huh...! Pantas saja gadis itu menghardiknya,” ucapku dalam hati.
Beberepa menit masih saja aku habiskan untuk menikmati keindahan gadis itu dari kejauhan, sebelum akhirnya kuberanjak memberanikan diri untuk menghampirinya. Tentu saja setelah kukumpulkan seluruh keberanianku. Serta-merta, aku langsung duduk saja di sampingnya, tanpa meminta izin lebih dulu. Nampaknya gadis itu pun tak keberatan atas kehadiranku di situ. Dia masih menatap kosong lautan nan luas. Matanya yang indah terlihat sayu. Sekilas pandang menyiratkan kekecewaan yang mendalam.
Aku berdecak, selain mengagumi keindahannya juga kumaksudkan memberikan kode bahwa ada makhluk lain yang hadir di sampingnya. Matanya, melirikku dengan sekilas, tampak seperti mengacuhkanku. Wajahnya sedikit menyiratkan keberatan, mungkin dia merasa terganggu akan kedatanganku atau boleh jadi hanya karena malu. Ah, gejolak ingin mendekatinya terlanjur kuat, dan aku harus mengenal gadis ini, pikirku memastikan. “Sabar.” Tanpa sengaja ucapan itu keluar dari mulutku. Lagi-lagi gadis itu melirikku, namun kali ini senyuman memperindah lirikannya. “Ada apa?” tanyanya kepadaku sekenanya
 
Matanya kembali menatap kosong, masih ada sisa tangis di pipinya. “Maaf,” sambil kuulurkan tanganku untuk menghapus air mata di pipinya yang lembut. Gadis itu kaget, dan  seperti tidak suka dengan apa yang baru saja kuperbuat. Tubuhnya menggeser dari sampingku, dan berniat berdiri meninggalkan kekesalan kepadaku.
“Aku Ken, maaf kalau sudah menggangumu.” Sepertinya perkenalanku berhasil mengurungkan niatnya untuk beranjak pergi. “Namaku Kensya Adiguna,” kuulangi penyebutan nama lengkapku. Dia tersenyum, tangan mungilnya menggerayangi sesuatu dalam tas kecilnya. Rambutnya yang hitam, benar-benar memperjelas kecantikannya. Sehelai tisue berhasil dia keluarkan, untuk menghapus sisa-sisa tangis yang sempat meleleh di pipinya. “Maaf tadi aku lancang menghapus air matamu,” pintaku terlontar kembali. Gadis itu hanya meresponku dengan senyuman, dan kembali melanjutkan lamunan kosongnya ke samodera nan luas.
“O, ya, yang tadi pacarmu, ya ...? Kenapa, kok sepertinya sedang ada masalah?” walaupun terdengar tidak sopan dan sok tahu, tetapi aku berharap perkataanku itu bisa mencairkan suasana, dan mendengar dia berbicara. “Mantan,jawabnya singkat, tanpa berniat melanjutkannya. “Aku boleh tahu namamu?” pertanyaanku terdengar seperti basa-basi, namun itulah yang sedari tadi ingin kutanyakan.
Dengan sendirinya, gadis itu mengulurkan tangannya sembari mengucap nama yang terdengar indah di telingaku. “Kejora. Orang-orang memanggilku, Ara.” Pertanyaanku tadi, sepertinya mulai mencairkan suasana di antara kami. Kini, gadis itu, Ara, terlihat lebih tenang walaupun dengan senyuman yang masih terlihat dipaksakan.
Detik, menit, dan jam berganti. Perlahan kulihat langit berwarna kemerahan, memancarkan sinar yang teramat indah. Mentari nampaknya mulai kelelahan dan perlahan mulai menghilang seperti tenggelam di dalam lautan Pantai Santolo. Kami masih duduk berdua di tepi pantai, menikmati panorama indah yang baru pertama kali aku nikmati.
Sepertinya Ara sudah terbiasa dengan pemandangan yang dilihatnya. Dia tersenyum menatap lurus, menenggelamkan matanya mengikuti mentari yang berjalan kelelahan. Wajahnya tersinari oleh seberkas cahaya mentari yang menjelang masuk peraduan. Bulu mata yang lentik, memperindah matanya walaupun terkejap. Aku terpesona dengan segala keindahan yang ada di pantai ini. Ben, tidak salah menyarankanku pergi ke tempat yang indah ini. Dan aku, sangat beruntung karena mendapat keindahan dua kali lipat, karena bertemu dengan Ara. Gadis manis yang telah menambat fokus perhatianku.
“Ra,” panggilku, yang mulai kuakrab-akrabkan, membuyarkan kenikmatan lamunan yang sedang dirasakannya. Ara membuka matanya perlahan, menatapku beberapa detik lalu berdiri dan mendekati air pantai. Tatapan matanya menyiratkan ajakan kepadaku untuk menikmati sore yang sebentar lagi akan berganti dengan tiupan angin malam. Mata kakinya mulai tenggelam oleh ombak yang semakin lama semakin mendekatinya.
Belum banyak kami bercerita, namun sepertinya kami mulai benar-benar akrab dan nyaman. Ara yang sebelumnya dengan tetesan air mata, sekarang berubah menjadi gadis dengan senyuman yang menawan. Lesung pipinya adalah penghias tambahan alami di wajah manisnya.
Aku diberitahu Ben untuk menginap disalah satu hotel milik saudaranya. Walaupun fasilitas yang diberikan tidak semewah dengan hotel yang berada di pantai lainnya, namun bukan masalah bagiku. Ara yang mengantarku ke penginapan ini, ternyata dia adalah puteri dari saudarnya Ben, pemilik penginapan itu. Tidak perduli apakah Ara sudah memiliki kekasih atau tidak, yang jelas aku tidak ingin jika salah satu keindahan pantai ini, termasuk keindahan yang terpancar dari diri Ara, hilang begitu saja. (bersambung)
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya