Langsung ke konten utama

Ruang Rindu Part II

Pesan singkat Andito terbaca keesokan harinya. Ya, tangis Marini sampai membuatnya tertidur dan HP nya lupa untuk dinyalakan kembali. Membaca pesan Andito, membuat Marini semakin bersedih dan menyesal. Tapi sayangnya Marini pun tidak ingin menarik keputasannya itu. Walaupun tidak tahan ingin membalasnya, tetapi Marini berhasil untuk menghapus pesan Andito itu, bahkan semua pesan dan nomor konataknya telah ia hapus.

“Maaf Dit, tapi kayaknya aku bener-bener capek dengan hubungan ini,” keluh Marini.

Andito memang tidak diam begitu saja, dengan sikap Marini yang tiba-tiba memutuskannya, dia selalu berusaha untuk menghubungi Marini. Tapi, Marini tetap saja enggan untuk mengangkat atau bahkan membalas pesannya itu. Marini sempat berpikir untuk mengganti nomor HP-nya, tetapi niat itu berhasil ia urungkan, mengingat nomor yang dia pakai itu adalah nomor dari sejak ia SMP, jadi hampir semua orang yang mengenalnya itu hanya mengetahui nomor yang ia pakai sekarang.

Karena Andito tidak ingin hubungannya berakhir begitu saja, akhirnya dia memutuskan untuk pulang dan menemui Marini. Tidak ada orang yang tahu kalau Andito akan pulang, bahkan keluarganya pun tidak satu orangpun yang tahu. Kuliahnya di semester ini memang sedang padat, tugasnya pun hampir membuat orang setres. Tapi itulah Andito, karena pada dasarnya dia cowok rajin yang selalu bersahabat dengan tugas dan buku, maka beban itupun tidak membuatnya setres. Namun Marini, beranggapan lain. Karena Andito sibuk dengan dunianya sendiri, Marini merasa terasingkan, apalagi dengan hubungan jarak jauhnya ini. Walaupun dari awal mereka telah sepakat untuk saling mengerti dan menerima satu sama lain, tetapi pada kenyataannya semua itu hanya sebatas janji, dan susah untuk terealisasikan. Walaupun Marini terkenal dengan cewek tomboy, tetapi sebanarnya hatinya itu lebih lembut dibanding cewek lain. Perasaannya yang terlalu peka, membuat dirinya semakin terluka. Dia percaya, Andito tidak mungkin berbuat hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Tapi, kegiatannya yang terlalu padat, membuat Marini merasa kesepian dan tidak mempunyai siapa-siapa untuk berbagi.

Sesampainya di Tasik, Andito tidak henti-hentinya menelpon Marini, tetapi usahanya itu sia-sia, Marini tidak sekalipun mengangkat teleponnya. Akhirnya Andito mengirimkan pesan, dengan harapan semoga setelah membaca pesan itu, Marini mau mengangkat teleponnya.

Lagi dimana Rin? Please angkat teleponnya, sekali ajaa…

Satu jam lebih pesan itu dikirim, tetapi tidak ada balasan satu kalipun. Di telepon? Tentu, setelah mengirim pesan singkat itu, Andito tidak henti-hentinya menelponnya lagi. Hampir putus asa memang, tetapi Andito tidak mudah menyerah. Dia menanyakan Marini ke Sheila, teman dekatnya Marini, dan akhirnya Sheila mau memberitahu dimana Marini sekarang, walaupun awalnya Sheila tidak mau memberi tahunya.

“Thanks Shel, mudah-mudahan Marini mau baikan lagi sama aku. Doain ya..,” percakapan terakhir Andito di teleponnya.

“Ya... sama-sama Dit. Baik-baik ya, jangan terlalu maksa dia juga, biarin dulu dia tenang. Good luck!” Sheila membalas ucapannya Dito.

***

Sini, aku ada di belakang gedung kampusmu. Kalau kamu nggak datang menemuiku, aku yang bakalan datang ke tempat acara itu.

Pesan singkat itu berhasil dia kirim ke Marini.

Memang Marini sedang sibuk menjadi panitia di acara kampusnya, selain untuk melupakan Andito, dia juga ingin memulai hari-harinya yang baru.

Marini sempat kaget dengan pesan dari Andito, tetapi dia tidak terlalu menghiraukannya.

“Paling juga bohongan, mana mungkin sih seorang Andito pulang ke Tasik di tengah-tengah jadwal kuliahnya yang padat. Impossible !” ucapnya dalam hati.

Karena lama menunggu, akhirnya Anditopun masuk kedalam gedung acara tersebut, dan seketika itu juga Marini panik dan ingin melarikan diri. Andito berhasil memegang tangan Marini, ketika dia ingin melarikan diri. Dengan pasrah, akhirnya Marini mengikuti kemauan Andito. Dia membawanya kebelakang gedung acara itu.

“Kayak anak kecil tau nggak sih Rin? Kenapa kamu nggak balas atau angkat telepon aku?” Andito mulai berbicara.

“Kamu kesini cuma mau ngomong itu? Sia-sia tau nggak sih Dit. Pulang lagi saja, percuma kamu datang kalau cuma ingin menyalahkanku saja!” Marini mulai kesal. (bersambung)
By: Retno Dyah Pekerti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya