Langsung ke konten utama

Dilema Cinta (Part III)

SIANG itu tidak banyak kegiatan yang aku lakukan. Hanya bergelumut dengan notebook dan beberapa tumpukkan buku. Udara panas disiang ini membuatku malas untuk pergi keluar. Untung saja siang ini tidak ada jadwal kuliah yang menantiku.


Ada beberapa SMS dari Zaky dan Ardan. Ya, Ardan. Cowok baru yang mulai masuk dikehidupanku setelah Zaky. Baik, humoris, mudah bergaul dan pintar. Aku mengenalnya di toko buku yang biasa aku tongkrongi. Kami sama-sama menyukai buku psikologi. Kulitnya yang putih mempunyai kesan tersendiri dimataku. Mata hitam dibalik kacamatanya itu memancarkan sinar berbeda dari laki-laki pada umumnya. Sekilas aku menemukan sosok lelaki yang aku dambakan didalam dirinya. Tidak terlalu banyak gaya, dan mempunyai sikap.

Untuk masalah fisik, Zaky memang pemenangnya. Walaupun aku mulai menyukainya, namun entah mengapa, aku tidak mempunyai keyakinan untuk memilihnya menjadi pengisi hatiku. Aku bukan tipikal cewek seperti pada umumnya, yang suka shoping bareng pacar, jalan berdua, dan senang diantar jemput sana-sini. 

Message from Ardan :
Buku kamu udah selesai aku baca tuh. Mau dibawa kapan?

Belum sempat aku membalasnya, telepon dari Zaky masuk.  Tumben sekali Zaky menelponku siang-siang gini, pikirku. Dengan sendirinya ibu jariku menekan tombol jawab di layar handphoneku itu.

“Hallo, Assalamualaikum..” ucapku sambil menempelkan handphone itu di telinga.
“Ya, walaikum sallam. Lagi ngapain Han?” jawab Zaky sedikit terburu-buru.
“Ada apa Ky? Kok tumben telepon jam segini. Aku lagi nulis.”
“Nggak ada apa-apa kok, pengen telepon aja, kangen, hehehe.”

Hah? Siang bolong seperti ini, masih ada aja yang ngegombal bilang kangen. Zaky, memang cowok aneh. Terkadang kata-kata yang  diucapkan Zaky itu bisa membuatku senang, tetapi sering berlebihan, dan akhirnya aku merasa risih sendiri.

“Yee kamu, siang bolong gini bilang kangen. Ada apa Ky?” aku balik bertanya lagi.
“Hehe, nggak Han. Nanti sore ada acara nggak? Keluar yuk!”
Walupun aku tidak biasa jalan berdua dengan cowok, namun entah kenapa, siang itu lidahku kelu untuk berkata tidak bisa. Aku terdiam sesaat dan akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Zaky mengajakku ke kafe yang biasa ia tongkrongi.
 ***

“Jadi, gimana Han? Kamu mau nggak jadi pacar aku?” ulang Zaky, membuyarkan pikiranku.
Ya, aku memang menyukainya. Namun, sungguh, hati ini belum bisa menerimanya untuk mengisi seluruh ruang kosong di dalamnya. Tetapi, aku juga tidak sampai hati untuk menolaknya. Zaky, baik, bisa mengerti aku dan yang paling aku suka itu, dia bisa membuatku tertawa dan melupakan hal-hal yang mengganggu pikiranku.

Tiba-tiba mataku terhenti ketika melihat sosok lelaki yang baru-baru ini aku kenal. Berdua, ya dia tidak sendirian. Ada wanita lain disampingnya. Sekali lagi aku memandangnya dengan seksama. Memastikan apa yang sedang aku lihat, dan menyambungkannya dengan pikiran dan perasaan. Tubuhku mulai memanas, ketika apa yang aku lihat memang benar Ardan, dan hatiku mulai terbakar. Pikiranku melayang memikirkan kejadian yang pernah dilewati akhir-akhir ini bersamanya, memikirkan semua perkataan dan perlakuannya yang berhasil membuat hatiku meleleh seperti coklat yang dipanaskan. Manis sekali, semua yang pernah aku lakukan dengan Ardan begitu manis, walaupun singkat. Dengan hanya beberapa minggu, dia berhasil membawa seperempat hatiku bersamanya. Padahal, aku sangat menjaga setiap potongan hati tersebut. Tidak ingin aku berikan kepada lelaki yang salah. Tetapi Ardan, berhasil membawanya.

Baru aku sadari, ternyata Zaky dan Ardan mempunyai posisi yang sama dihatiku. Walupun Zaky lebih dulu mengenalku, tetapi Ardan yang berhasil cepat membawa hatiku. Aku tidak ingin Ardan begitu mudahnya pergi dan membawa sebagian dari hatiku. Tetapi, aku juga tidak ingin Zaky pergi dan membawa kepingan hatiku yang lain. Aku tidak ingin kehilangan sebagian besar dari hatiku itu. 
“Hanum.. hei!” Zaky mulai mengguncangkan bahuku.

“Eh iya Ky, kenapa? Maaf maaf.. aduuh aku ngelamun ya?” aku langsung merapihkan diri dan mencoba berpikir jernih kembali.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi diajak ngobrol, malah diem terus.” Timbal Zaky kesal.
“Nggak kenapa-kenapa kok, hehehe. Maaf ya..” lagi-lagi aku meminta maaf, memastikan Zaky tidak berpikir macam-macam dengan lamunanku tadi.

Mataku masih saja melirik sudut ruangan di kafe itu. Melihat sosok lelaki berbadan tegap dengan kulit dan matanya yang bersinar. Sekali-kali aku melirik wanita yang sedang bersamanya juga. Mencocokkan dengan beberapa teman yang aku kenal, barangkali mengenalnya. Tetapi, semuanya sia-sia. Tidak ada nama yang cocok untuk wanita berdagu panjang itu.

“Jadi gimana Han, mau nggak?” lagi-lagi Zaky menanyakannya.

Tidak enak juga kalau hanya diam tanpa berkata apapun. Kasihan juga Zaky. Tetapi aku tidak mau mengambil keputusan yang salah.

“Kasih aku waktu untuk memikirkannya ya. Boleh?” akhirnya, perkataan itu yang keluar dari mulutku. 

Setidaknya, aku bisa memikirkan antara Zaky dan Ardan. Memperkuat hati untuk memilih siapa yang paling pantas. Karena, sebelumnya Ardan juga sempat berkata seperti itu padaku. Ingin menjadi bagian penting dihidupku dan mengisi ruang kosong di hatiku. Tetapi, keyakinanku berkurang drastis ketika melihatnya bersama wanita lain.

“Sampai kapan Han?” Zaky berkata hampir putus asa.
“Secepatnya. Aku harap kamu sabar menunggunya, dan berhasil untuk meyakinkanku.” Jawabku sedikit ragu.

Sepertinya Ardan memang tidak melihatku sama sekali. Memang, kursi tempatku dan Zaky duduk berjauhan dengan sudut kafe tempat Ardan duduk, karena memang kafe ini cukup luas. Tetapi, apakah Ardan tidak merasa sedikitpun kalau ada orang yang sedang memperhatikannya dari kejauhan?
Oh iya, aku coba SMS aja. Sekalian menguji kejujurannya, pikirku sambil mencari handphone di dalam tas kecil coklatku itu.

Lagi dimana Dan? Maaf SMS yang tadi pagi baru sempat aku balas.

Kontak Ardan di HP ku tidak sulit untuk ditemukan, karena memang aku sengaja menspesialkan nomornya. Ketika aku menekan tombol send, dari kejauhan Ardan berdiri dan melirik ke arahku.
Oh Tuhan, semoga dia tidak melihatku, ujarku dalam hati. (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya