SIANG itu tidak banyak kegiatan yang aku lakukan.
Hanya bergelumut dengan notebook dan
beberapa tumpukkan buku. Udara panas disiang ini membuatku malas untuk pergi
keluar. Untung saja siang ini tidak ada jadwal kuliah yang menantiku.
Ada beberapa SMS dari Zaky dan Ardan. Ya, Ardan.
Cowok baru yang mulai masuk dikehidupanku setelah Zaky. Baik, humoris, mudah
bergaul dan pintar. Aku mengenalnya di toko buku yang biasa aku tongkrongi.
Kami sama-sama menyukai buku psikologi. Kulitnya yang putih mempunyai kesan
tersendiri dimataku. Mata hitam dibalik kacamatanya itu memancarkan sinar
berbeda dari laki-laki pada umumnya. Sekilas aku menemukan sosok lelaki yang
aku dambakan didalam dirinya. Tidak terlalu banyak gaya, dan mempunyai sikap.
Untuk masalah fisik, Zaky memang pemenangnya.
Walaupun aku mulai menyukainya, namun entah mengapa, aku tidak mempunyai
keyakinan untuk memilihnya menjadi pengisi hatiku. Aku bukan tipikal cewek
seperti pada umumnya, yang suka shoping
bareng pacar, jalan berdua, dan senang diantar jemput sana-sini.
Message
from
Ardan :
Buku kamu udah selesai aku baca tuh. Mau dibawa
kapan?
Belum sempat aku membalasnya, telepon dari Zaky
masuk. Tumben sekali Zaky menelponku
siang-siang gini, pikirku. Dengan sendirinya ibu jariku menekan tombol jawab di
layar handphoneku itu.
“Hallo, Assalamualaikum..”
ucapku sambil menempelkan handphone itu di telinga.
“Ya, walaikum
sallam. Lagi ngapain Han?” jawab Zaky sedikit terburu-buru.
“Ada apa Ky? Kok tumben telepon jam segini. Aku lagi
nulis.”
“Nggak ada apa-apa kok, pengen telepon aja, kangen,
hehehe.”
Hah? Siang bolong seperti ini, masih ada aja yang
ngegombal bilang kangen. Zaky, memang cowok aneh. Terkadang kata-kata yang diucapkan Zaky itu bisa membuatku senang,
tetapi sering berlebihan, dan akhirnya aku merasa risih sendiri.
“Yee kamu, siang bolong gini bilang kangen. Ada apa
Ky?” aku balik bertanya lagi.
“Hehe, nggak Han. Nanti sore ada acara nggak? Keluar
yuk!”
Walupun aku tidak biasa jalan berdua dengan cowok,
namun entah kenapa, siang itu lidahku kelu untuk berkata tidak bisa. Aku
terdiam sesaat dan akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Zaky mengajakku ke kafe
yang biasa ia tongkrongi.
***
“Jadi, gimana Han? Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
ulang Zaky, membuyarkan pikiranku.
Ya, aku memang menyukainya. Namun, sungguh, hati ini
belum bisa menerimanya untuk mengisi seluruh ruang kosong di dalamnya. Tetapi,
aku juga tidak sampai hati untuk menolaknya. Zaky, baik, bisa mengerti aku dan
yang paling aku suka itu, dia bisa membuatku tertawa dan melupakan hal-hal yang
mengganggu pikiranku.
Tiba-tiba mataku terhenti ketika melihat sosok
lelaki yang baru-baru ini aku kenal. Berdua, ya dia tidak sendirian. Ada wanita
lain disampingnya. Sekali lagi aku memandangnya dengan seksama. Memastikan apa
yang sedang aku lihat, dan menyambungkannya dengan pikiran dan perasaan. Tubuhku
mulai memanas, ketika apa yang aku lihat memang benar Ardan, dan hatiku mulai terbakar.
Pikiranku melayang memikirkan kejadian yang pernah dilewati akhir-akhir ini
bersamanya, memikirkan semua perkataan dan perlakuannya yang berhasil membuat
hatiku meleleh seperti coklat yang dipanaskan. Manis sekali, semua yang pernah
aku lakukan dengan Ardan begitu manis, walaupun singkat. Dengan hanya beberapa
minggu, dia berhasil membawa seperempat hatiku bersamanya. Padahal, aku sangat
menjaga setiap potongan hati tersebut. Tidak ingin aku berikan kepada lelaki
yang salah. Tetapi Ardan, berhasil membawanya.
Baru aku sadari, ternyata Zaky dan Ardan mempunyai
posisi yang sama dihatiku. Walupun Zaky lebih dulu mengenalku, tetapi Ardan
yang berhasil cepat membawa hatiku. Aku tidak ingin Ardan begitu mudahnya pergi
dan membawa sebagian dari hatiku. Tetapi, aku juga tidak ingin Zaky pergi dan
membawa kepingan hatiku yang lain. Aku tidak ingin kehilangan sebagian besar
dari hatiku itu.
“Hanum.. hei!” Zaky mulai mengguncangkan bahuku.
“Eh iya Ky, kenapa? Maaf maaf.. aduuh aku ngelamun
ya?” aku langsung merapihkan diri dan mencoba berpikir jernih kembali.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi diajak ngobrol, malah
diem terus.” Timbal Zaky kesal.
“Nggak kenapa-kenapa kok, hehehe. Maaf ya..”
lagi-lagi aku meminta maaf, memastikan Zaky tidak berpikir macam-macam dengan
lamunanku tadi.
Mataku masih saja melirik sudut ruangan di kafe itu.
Melihat sosok lelaki berbadan tegap dengan kulit dan matanya yang bersinar.
Sekali-kali aku melirik wanita yang sedang bersamanya juga. Mencocokkan dengan
beberapa teman yang aku kenal, barangkali mengenalnya. Tetapi, semuanya
sia-sia. Tidak ada nama yang cocok untuk wanita berdagu panjang itu.
“Jadi gimana Han, mau nggak?” lagi-lagi Zaky
menanyakannya.
Tidak enak juga kalau hanya diam tanpa berkata
apapun. Kasihan juga Zaky. Tetapi aku tidak mau mengambil keputusan yang salah.
“Kasih aku waktu untuk memikirkannya ya. Boleh?”
akhirnya, perkataan itu yang keluar dari mulutku.
Setidaknya, aku bisa memikirkan antara Zaky dan
Ardan. Memperkuat hati untuk memilih siapa yang paling pantas. Karena,
sebelumnya Ardan juga sempat berkata seperti itu padaku. Ingin menjadi bagian
penting dihidupku dan mengisi ruang kosong di hatiku. Tetapi, keyakinanku
berkurang drastis ketika melihatnya bersama wanita lain.
“Sampai kapan Han?” Zaky berkata hampir putus asa.
“Secepatnya. Aku harap kamu sabar menunggunya, dan
berhasil untuk meyakinkanku.” Jawabku sedikit ragu.
Sepertinya Ardan memang tidak melihatku sama sekali.
Memang, kursi tempatku dan Zaky duduk berjauhan dengan sudut kafe tempat Ardan
duduk, karena memang kafe ini cukup luas. Tetapi, apakah Ardan tidak merasa
sedikitpun kalau ada orang yang sedang memperhatikannya dari kejauhan?
Oh iya, aku coba SMS aja. Sekalian menguji
kejujurannya, pikirku sambil mencari handphone di dalam tas kecil coklatku itu.
Lagi dimana Dan? Maaf SMS yang tadi pagi baru sempat
aku balas.
Kontak Ardan di HP ku tidak sulit untuk ditemukan,
karena memang aku sengaja menspesialkan nomornya. Ketika aku menekan tombol send, dari kejauhan Ardan berdiri dan
melirik ke arahku.
Oh Tuhan, semoga dia tidak melihatku, ujarku dalam
hati. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar