Drrtt.. drrt.. HP ku
bergetar diatas tumpukan buku dikamar. Sepulang dari kafe bersama Zaky, HP
hitam itu enggan untuk bersuara dan bergetar. Ardan baru membalas pesanku tiga
jam kemudian, dan ketika itu aku sudah ingin tertidur.
Lagi dirumah Han. Kenapa emang?
Dengan polosnya tanpa
meminta maaf, Ardan baru membalas pesanku yang aku kirimkan sore tadi. Mood ku
seketika itu juga hilang, yang awalnya berniat untuk tidur, aku urungkan dan
ingin membalas pesan itu dengan tumpukan kekesalan.
Tapi.. apa aku berhak untuk
memarahinya?
Akhirnya malam itu aku habiskan
dengan kekecewaan yang tidak berujung, tanpa membalas pesan Ardan.
Aku teringat Zaky, yang
sore tadi menunggu jawaban kepastian dariku. Malam itu aku berfikir keras, untuk
memutuskan siapa yang nantinya akan mengisi relung kosong dihati ini. Zaky
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, perhatian dan pengertiannya selalu
membuatku tenang. Ardan dengan sikapnya yang bisa membuat hatiku cepat mencair,
tetapi disisi lain sikap cuek dan polosnya membuatku banyak sakit dan kecewa.
***
“Terserah, silahkan lakukan
apa yang kamu suka. Jangan pernah mencari dan menghubungiku lagi!” teriakan ibu
membuatku berhenti memikirkan kedua lelaki itu.
“Ada apa lagi ini? Tuhaaan…
aku lelah dengan keluarga ini.” Keluhku sambil mengintip dibalik pintu kamar.
Ibu keluar kamar dengan
membawa beberapa tas besar. Seperti biasa,
matanya sembap. Kali ini hampir mirip bengkak!
Aku ingin keluar kamar,
tapi aku belum cukup kuat untuk menahan tangis dan melihat semuanya dengan nyata.
Aku tahu keluarga ini sedang ada masalah, tapi aku tidak tahu masalah apa yang
sebenarnya menimpa keluarga ini.
Ibu
selalu enggan untuk bercerita, mungkin untuk menjaga perasaanku juga. Namun,
ibu sempat berbicara untuk mencari rumah baru, dan menasehatiku untuk selalu
bersabar dan ikhlas.
Tuhan,
aku ikhlas jika memang ibu dan ayah sudah tidak mungkin bersama lagi, tapi aku
mohon, biarkan kami bahagia dengan kehidupan yang lain.
“Selalu
saja begini. Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit mau kabur!” Ayah tidak
kalah suara dengan ibu.
Malam
dengan rintikan hujan ini, membuatku benar-benar kacau. Aku sendiri bingung,
kenapa ibu masih saja bertahan dengan keluarga yang menurutku sudah tidak ada
lagi yang bisa diharapkan. Apa wanita memang seperti itu, selalu mengalah
walaupun telah disakiti berulang kali. Apa memang nasib wanita itu seperti ini?
Aku
melihat pantulan diri di cermin besar kamarku. Seluruh ragaku seperti masuk
kedalam cermin itu. Aku bertanya pada cermin, seperti yang ada dicerita
anak-anak kecil. Namun, kali ini bukan siapa perempuan yang paling cantik di
negeri ini yang menjadi pertanyaanku. Tetapi, apa sebenarnya salah aku dan ibu,
sehingga kehidupan keluargaku ini tidak semulus keluarga yang lainnya.
Damai!
Aku hanya ingin itu! Aku ingin semuanya berjalan seperti skenario cerita yang
aku buat. Aku ingin semuanya indah dan sempurna. Tapi aku tahu, Tuhan tidak
akan memberikan semua itu. Aku tahu, hidup ini selalu ada masanya. Dan aku
berfikir, hidupku terlalu banyak masa kelamnya dibanding manisnya.
“Tuhan….”
Aku memukul diriku sendiri, menyalahkan keadaan. Padahal aku sendiri yang
memperburuk keadaan itu.
“Han..,”
ibu mengetuk pintu kamarku, memanggilku dengan lirih.
Segera
kuhapus genangan air mata di pelupuk mataku ini. Mengelus dada, dan menguatkan
diri sendiri.
“Iya
bu.. sebentar..” aku beranjak dari tempat tidur, dan lagi-lagi menguatkan diri
agar tidak terlihat sedih. Rambut sebahu itu, aku acak-acak, agar terlihat
seperti baru bangun tidur. Supaya ibu menyangka, aku tidak tahu dan tidak
mendengar kejadian tadi.
Ibu
memelukku erat, mendekap dan berkata lirih. Aku kaget, air mataku sudah enggan
untuk dibendung lagi. Aku menangis, terisak, dan badanku
mulai melemas. (bersambung)
...
BalasHapuscerita itu, kadang seperti mozaik, sulit untuk disatukan, tapi akan idah jika kita bisa mengerti apa perbedaannya,...
hihi iya jey. aku bingung juga sama cerita ini.
BalasHapusending nya bingung :(