Langsung ke konten utama

Dilema Cinta (Part IV)



Drrtt.. drrt.. HP ku bergetar diatas tumpukan buku dikamar. Sepulang dari kafe bersama Zaky, HP hitam itu enggan untuk bersuara dan bergetar. Ardan baru membalas pesanku tiga jam kemudian, dan ketika itu aku sudah ingin tertidur.

Lagi dirumah Han. Kenapa emang?
Dengan polosnya tanpa meminta maaf, Ardan baru membalas pesanku yang aku kirimkan sore tadi. Mood ku seketika itu juga hilang, yang awalnya berniat untuk tidur, aku urungkan dan ingin membalas pesan itu dengan tumpukan kekesalan.
Tapi.. apa aku berhak untuk memarahinya? 

Akhirnya malam itu aku habiskan dengan kekecewaan yang tidak berujung, tanpa membalas pesan Ardan.
Aku teringat Zaky, yang sore tadi menunggu jawaban kepastian dariku. Malam itu aku berfikir keras, untuk memutuskan siapa yang nantinya akan mengisi relung kosong dihati ini. Zaky dengan segala kelebihan dan kekurangannya, perhatian dan pengertiannya selalu membuatku tenang. Ardan dengan sikapnya yang bisa membuat hatiku cepat mencair, tetapi disisi lain sikap cuek dan polosnya membuatku banyak sakit dan kecewa.
*** 

“Terserah, silahkan lakukan apa yang kamu suka. Jangan pernah mencari dan menghubungiku lagi!” teriakan ibu membuatku berhenti memikirkan kedua lelaki itu.

“Ada apa lagi ini? Tuhaaan… aku lelah dengan keluarga ini.” Keluhku sambil mengintip dibalik pintu kamar.
Ibu keluar kamar dengan membawa beberapa tas besar. Seperti biasa,  matanya sembap. Kali ini hampir mirip bengkak!

Aku ingin keluar kamar, tapi aku belum cukup kuat untuk menahan tangis dan melihat semuanya dengan nyata. Aku tahu keluarga ini sedang ada masalah, tapi aku tidak tahu masalah apa yang sebenarnya menimpa keluarga ini. 

Ibu selalu enggan untuk bercerita, mungkin untuk menjaga perasaanku juga. Namun, ibu sempat berbicara untuk mencari rumah baru, dan menasehatiku untuk selalu bersabar dan ikhlas.
Tuhan, aku ikhlas jika memang ibu dan ayah sudah tidak mungkin bersama lagi, tapi aku mohon, biarkan kami bahagia dengan kehidupan yang lain.

“Selalu saja begini. Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit mau kabur!” Ayah tidak kalah suara dengan ibu.
Malam dengan rintikan hujan ini, membuatku benar-benar kacau. Aku sendiri bingung, kenapa ibu masih saja bertahan dengan keluarga yang menurutku sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Apa wanita memang seperti itu, selalu mengalah walaupun telah disakiti berulang kali. Apa memang nasib wanita itu seperti ini?

Aku melihat pantulan diri di cermin besar kamarku. Seluruh ragaku seperti masuk kedalam cermin itu. Aku bertanya pada cermin, seperti yang ada dicerita anak-anak kecil. Namun, kali ini bukan siapa perempuan yang paling cantik di negeri ini yang menjadi pertanyaanku. Tetapi, apa sebenarnya salah aku dan ibu, sehingga kehidupan keluargaku ini tidak semulus keluarga yang lainnya. 

Damai! Aku hanya ingin itu! Aku ingin semuanya berjalan seperti skenario cerita yang aku buat. Aku ingin semuanya indah dan sempurna. Tapi aku tahu, Tuhan tidak akan memberikan semua itu. Aku tahu, hidup ini selalu ada masanya. Dan aku berfikir, hidupku terlalu banyak masa kelamnya dibanding manisnya. 

“Tuhan….” Aku memukul diriku sendiri, menyalahkan keadaan. Padahal aku sendiri yang memperburuk keadaan itu.
“Han..,” ibu mengetuk pintu kamarku, memanggilku dengan lirih.
Segera kuhapus genangan air mata di pelupuk mataku ini. Mengelus dada, dan menguatkan diri sendiri.
“Iya bu.. sebentar..” aku beranjak dari tempat tidur, dan lagi-lagi menguatkan diri agar tidak terlihat sedih. Rambut sebahu itu, aku acak-acak, agar terlihat seperti baru bangun tidur. Supaya ibu menyangka, aku tidak tahu dan tidak mendengar kejadian tadi.
Ibu memelukku erat, mendekap dan berkata lirih. Aku kaget, air mataku sudah enggan untuk dibendung lagi. Aku menangis, terisak, dan badanku mulai melemas. (bersambung)


Komentar

  1. ...
    cerita itu, kadang seperti mozaik, sulit untuk disatukan, tapi akan idah jika kita bisa mengerti apa perbedaannya,...

    BalasHapus
  2. hihi iya jey. aku bingung juga sama cerita ini.
    ending nya bingung :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya