By: Retno Dyah Pekerti
ZAKY, bisa kita bertemu sore nanti? Di kafe tempat
kamu biasa nongkrong. Aku tunggu jam empat sore.
Langsung aku
mencari nama Zaky di ponsel hitamku itu. Sepertinya aku sudah
mempunyai keputusan. Walaupun aku tidak yakin dengan keputusanku itu. “Semoga
aku mengambil keputusan yang baik,” ucapku.
Ardan dan kejadian
malam itu membuatku berfikir keras, dan akhirnya berani mengambil keputusan.
Ibu sudah mulai tenang, ayah mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. Walaupun aku melihat ibu tidak percaya dengan apa yang
dikatakan ayah, namun akhirnya perempuan yang kini berusia 50 tahun itu
memaafkan kesalahan suaminya. Entah apa
yang dipikirkan ibu, beberapa kali ayah meminta maaf, dan semudah itu ibu
memaafkannya. Walaupun jelas-jelas ia sudah tidak mempercayai imamnya itu.
***
“Ky…” aku mengawali
percakapan di kafe itu.
Belum banyak
pengunjung, karena memang kafe ini biasanya ramai di malam hari. Aku melihat
Zaky sedikit canggung, biasanya dia yang selalu mengawali percakapan. Dari raut
mukanya, sepertinya Zaky sedang ada masalah.
“Iya Han... ada
apa?” Zaky menjawab dengan menundukkan kepalanya. Kali ini aku benar-benar
tidak mengenali anak itu. Sepertinya ada yang telah disembunyikan Zaky
kepadaku.
“Kamu kenapa Ky?
Sakit?” tanganku dengan sendirinya memegang dahi laki-laki didepanku itu.
“Suhunya stabil, lantas kenapa dia seperti orang sakit?” ucapku dalam hati.
Aku kaget, ketika
Zaky tiba-tiba memegang erat tanganku. Aku semakin bingung dan tidak mengerti
dengan apa yang sedang terjadi di sekitarku ini. Zaky mengelus pipiku, dan
berkata pelan, nyaris tidak terdengar. “Aku menyangimu Hanum. Aku akan
menjagamu!” Dan dia langsung melepaskan genggaman tangannya.
“Ky.. kamu belum
menjawabku. Kamu kenapa?” kali ini, giliran aku menggenggam erat tangannya. Desiran darah mengalir hangat di
tubuhku. Sepertinya Zaky juga merasakan apa yang aku rasakan. Sungguh, aku baru
merasakan perasaan seperti ini bersamanya. Aku membiarkan Zaky menyelusup
jemariku, dan sepertinya aku semakin yakin dengan keputusan yang akan kubuat
ini. “Ky…” aku bergeming, dan siap melanjutkan perkataan selanjutnya.
“Aku menerimamu.”
Zaky menatapku tidak percaya. Matanya menyelusup berbalik menatapku. Aku
memberanikan diri untuk membalas menatapnya. Dan aku terkejut, ketika menyadari
ada sosok Ardan di mata hitamnya itu. Zaky menyadari perubahan sikapku.
Aku berusaha
melepaskan tangan dari gengamannya, namun Zaky lebih kuat. Ia menatapku tajam,
mencoba menjelaskan semuanya dari mata hitam yang dimilikinya. Aku tertunduk
lemas, dan tidak ingin melihat apa yang sedang ia lakukan.
“Aku tahu Han. Dan
maaf, selama ini aku tidak menceritakannya.” Akhirnya ia berucap dan mulai
melepaskan tanganku. Tubuhku melemas, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru
ku dengar. Walaupun Zaky tidak mengatakannya dengan jelas, tetapi aku tahu
maksud dari perkataannya itu. “Ky..”
“Iya Han. Aku dan
Ardan memang bersaudara. Maaf aku tidak menceritakan sebelumnya.”
Dadaku seperti
sedang dipukuli oleh beberapa penjahat yang akan merampas semua yang aku
miliki. Air mataku jatuh dengan sendrinya, dan aku terkulai lemas di kursi
sudut kafe itu. Hening, sepertinya semua orang sedang membodohiku, dan mereka
tersenyum sinis melihatku lemah. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan
Zaky. Tetapi, kenyataan mengalahkan semua ketidak percayaanku itu. Zaky
mendekat, dan memelukku erat. Dia tidak henti berkata maaf. Aku mendengarnya.
Ponsel yang
bergetar di celana jeansku membuatku sadar, dan ingin melepaskan pelukan Zaky.
Aku berhasil kembali ke alam sadarku, dan mulai menerima kata demi kata yang
dikeluarkan Zaky. Sebelum aku berkata memaafkannya, Zaky sudah lebih dulu
memberikan penjelasan kepadaku. Diam, hanya itu yang bisa ku lakukan. Diam
seperti patung, dan mendengarkan semua penjelasannya.
Ternyata Zaky dan
Ardan adalah saudara, dan aku telah mencintai keduanya. Sejak kecil mereka
memang telah berpisah. Orangtuanya bercerai, Zaky ikut dengan mamanya, dan
Ardan pindah keluar kota bersama papanya. Jelas saja mereka seperti bukan
saudara, karena memang hubungan keduanya itu tidak baik. Zaky terlanjur
membenci papanya, karena ia telah menelantarkan mama dan dirinya. Sedangkan
Ardan, memang membenci Zaky dari kecil karena mamanya lebih menyayangi Zaky
dibanding dirinya.
Ucapan Zaky,
seperti tamparan terbesar dalam hidupku. Tidak terpikir sama sekali, aku bisa
mencintai dua lelaki yang mempunyai hubungan satu darah. Bagiku, Ardan
merupakan sosok yang aku dambakan, namun Zaky adalah lelaki baik yang bisa
merubah hidupku menjadi lebih berwarna.
”Han... kamu mau
maafin aku kan?” Suasana hening di kafe itu masih terasa. Kami berdua diam,
Zaky menunggu jawabanku, dan aku sendiri masih berusaha untuk menerima semua
yang dikatakannya. ”Han.. aku tidak ingin kamu bersamanya. Kamu terlalu baik
untuknya, walaupun aku juga belum tentu baik untukmu.”
”Ky.. aku ngerti.
Dan maaf, kalau selama ini aku sering manyakitimu dengan cerita-ceritaku
bersama Ardan. Aku nggak tahu kalau kamu juga menyukaiku, dan tidak pernah terrfikir
sedikitpun kalau kalian itu bersaudara.” Lagi-lagi Zaky menarik tanganku, dan
kali ini genggamannya terlihat lebih kaku dan ragu. Aku meyakinkannya dengan
membalas gengamannya. Kali ini, aku yang menyelinap masuk kedalam jemari dan
matanya. Senyuman manis Zaky membuatku semakin kuat untuk tetap bersamanya.
Desiran darah ini, seperti mendukungku untuk selalu bersamanya. Hangat, kali
ini suasana lebih hangat, dan aku membalas senyuman Zaky dengan lesung pipi
yang aku punya.
Zaky mendekat,
memelukku erat, mengelus rambutku dengan jemarinya yang kuat. ”Aku mencintaimu
Hanum... aku nggak mau kehilangan kamu. Tetaplah bersamaku seperti ini.”
ucapannya persis di telingaku. Entah mengapa sore itu, seluruh jiwaku luluh
bersamanya. Ternyata aku benar-benar mencintainya. ”Ky.. i love you” balasku
singkat, penuh keyakinan. (tamat)
Komentar
Posting Komentar