ZAKY memang cowok yang baru
aku kenal di kelas musikku beberapa hari yang lalu. Dia anak baru di tempat
kursus musikku itu. Cukup baik, tampan dan sepertinya pintar. Tidak banyak yang
aku tahu darinya, namun sepertinya dia yang selalu ingin tahu tentangku. Selalu
menghubungiku, dengan pertanyaan yang menurutku tidak penting.
Lagi nulis, nggak tahu!
Send...
***
”Kenapa lagi bu?” tanyaku dengan hati-hati.
Sudah yang ke dua kalinya ibu mempunyai ayah yang bekerja selalu di luar kota. Kalau dibilang kesepian, aku yakin, ibu pasti merasa kesepian dengan kegiatan sehari-harinya sebagai guru dan mengurus rumah tangga tanpa dampingan seorang suami. Tapi, itulah ibu, selalu berusaha tegar dan tidak mempermasalahkan nasib yang diterimanya. Walaupun dengan ayah pertama ibu tidak bisa bertahan lama, namun sepertinya ibu menaruh harapan besar dengan ayah yang sekarang ini tinggal bersama kami.
Aku yakin, baik ibu maupun ayah kandungku mempunyai sedikit penyesalan karena sudah tidak bersama lagi. Ayah kandungku seorang bapak yang bisa mengajarkan tatakrama dan kemandirian kepada anak-anaknya, dan ibuku adalah seorang ibu yang bisa mengarahkan dan mengajarkan anak-anaknya arti hidup yang sebenarnya. Walau bagaimanapun, aku dan kakakku merasa sangat bangga mempunyai orang tua seperti mereka. Walaupun keduanya telah mempunyai keluarga yang baru, tetapi kami bangga dengan mereka. Mempunyai orangtua seperti mereka, merupakan anugrah terindah yang Tuhan berikan untuk aku dan kakakku.
Sekeras apapun ayah mendidik aku dan kakak, pasti ia mempunyai alasan tersendiri. Ayah membuat ibu dan aku menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Dan sedikitnya, didikan ayah tersebut mulai terasa dikehidupanku.
***
”Hai cewek jutek!” terdengar suara Zaky diseberang telepon sana.
Deg.. sayang. Zaky memanggilku dengan kata sayang. Sepertinya jantung ini berdebar lebih kencang dari semestinya. Aku mulai merasakan darah mengalir lebih deras ditubuh mungilku ini. Sepertinya pipiku mulai memerah! ”Hah, sayang? Nggak salah denger tuh!”
”Iya sayang, nggak mau dipanggil itu ya? Yaudah deh aku nggak bakalan manggil itu lagi.”
Tuhan... apa aku mulai menyukainya? Apa aku mulai mengharapkannya?
”Lagi apa Han? Udah makan?”
”Kamu punya bakat menulis, kok cuma jadi pajangan file di komputer aja sih? Sekali-kali kirimin ke media dong Han, siapa tahu bisa terbit.”
Lagi nulis, nggak tahu!
Send...
Seperti biasa, aku membalas
pesannya dengan singkat. Anehnya, cowok itu tidak bosan sedikitpun untuk terus menghubungiku.
***
Sesekali cobaan Tuhan memang
sulit untuk dipahami. Terkadang ingin rasanya untuk menghilang, pergi untuk
selamanya, tidak ingin tahu lebih luas tentang dunia yang penuh dengan
sandiwara ini. Lagi-lagi ibu dan ayah membuat kepalaku terasa berat. Selalu
saja seperti itu, ibu keluar dari kamarnya dengan mata yang sembap.
”Kenapa lagi bu?” tanyaku dengan hati-hati.
”Nggak. Ibu mau keluar dulu
sebentar. Kamu jangan kemana-kemana!”
Dahiku sedikit mengernyit.
”Mau kemana bu? Udah mau turun hujan lho!”
”Udah turuti saja kemauan
ibu!”
Untungnya sore itu ibu hanya
pergi membawa tas kecil, jadi pikiranku sedikit tenang, karena ibu tidak mungkin
pergi lama.”Ya hati-hati bu. Kalau ada apa-apa kasih kabar.”
Sudah yang ke dua kalinya ibu mempunyai ayah yang bekerja selalu di luar kota. Kalau dibilang kesepian, aku yakin, ibu pasti merasa kesepian dengan kegiatan sehari-harinya sebagai guru dan mengurus rumah tangga tanpa dampingan seorang suami. Tapi, itulah ibu, selalu berusaha tegar dan tidak mempermasalahkan nasib yang diterimanya. Walaupun dengan ayah pertama ibu tidak bisa bertahan lama, namun sepertinya ibu menaruh harapan besar dengan ayah yang sekarang ini tinggal bersama kami.
Aku yakin, baik ibu maupun ayah kandungku mempunyai sedikit penyesalan karena sudah tidak bersama lagi. Ayah kandungku seorang bapak yang bisa mengajarkan tatakrama dan kemandirian kepada anak-anaknya, dan ibuku adalah seorang ibu yang bisa mengarahkan dan mengajarkan anak-anaknya arti hidup yang sebenarnya. Walau bagaimanapun, aku dan kakakku merasa sangat bangga mempunyai orang tua seperti mereka. Walaupun keduanya telah mempunyai keluarga yang baru, tetapi kami bangga dengan mereka. Mempunyai orangtua seperti mereka, merupakan anugrah terindah yang Tuhan berikan untuk aku dan kakakku.
Sekeras apapun ayah mendidik aku dan kakak, pasti ia mempunyai alasan tersendiri. Ayah membuat ibu dan aku menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Dan sedikitnya, didikan ayah tersebut mulai terasa dikehidupanku.
***
Tidak kuduga, cara Zaky
mendekatiku itu bisa membuatku luluh dan mulai tertarik dengannya. Padahal
pertemuan kami tidak terlalu sering. Hanya sebatas SMS dan telepon.
Ada sesuatu yang bisa
membuatku tertarik dan percaya dengannya. Bahkan tanpa aku sadari, aku mulai bercerita kehidupan pribadiku kepadanya. Semuanya berjalan tanpa jeda dan
mengalir seperti air.
”Hai cewek jutek!” terdengar suara Zaky diseberang telepon sana.
”Hmm apa kamu cowok bawel?
Mau nelpon kok nggak liat jam.”
”Hehehe maaf sayang,
kamunya juga belum tidur kan?”
Deg.. sayang. Zaky memanggilku dengan kata sayang. Sepertinya jantung ini berdebar lebih kencang dari semestinya. Aku mulai merasakan darah mengalir lebih deras ditubuh mungilku ini. Sepertinya pipiku mulai memerah! ”Hah, sayang? Nggak salah denger tuh!”
”Iya sayang, nggak mau dipanggil itu ya? Yaudah deh aku nggak bakalan manggil itu lagi.”
Hah? Bukan. Bukan maksudku
nggak suka dipanggil sayang, tapi... maksud sayang yang disebutkan tadi, sayang
dalam arti apa? Kalimat itu hanya terlontar dipikiranku saja, sedikitpun aku
tidak berani berkata
seperti itu. ”Yee.. kamu nggak jelas ah!” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan ke Zaky.
seperti itu. ”Yee.. kamu nggak jelas ah!” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan ke Zaky.
Tuhan... apa aku mulai menyukainya? Apa aku mulai mengharapkannya?
Tidak! Tidak! Inget Han,
kamu harus fokus, nggak boleh banyak memirkan yang tidak perlu dipikirkan!
”Lagi apa Han? Udah makan?”
Zaky berhasil membuat
jantungku kembali normal lagi. Dia berhasil membuat topik baru!
”Hmm.. biasalah lagi bikin
karangan bebas, hehe. Belum. Nanti aja deh, belum laper kok.” jawabku santai.
Walaupun aku ingin tahu
alasan dia memanggilku dengan kata seperti itu, tetapi aku lebih memilih dia
mengganti topik bahasan. Karena aku memang belum siap mendengar alasannya.
Masih terlalu cepat, pikirku sekenanya.
”Kamu punya bakat menulis, kok cuma jadi pajangan file di komputer aja sih? Sekali-kali kirimin ke media dong Han, siapa tahu bisa terbit.”
”Hehe.. belum pede ah.
Nanti aja kalau udah jadi beneran. Kamu mau baca tulisanku nggak?” tanyaku
sengaja ingin diberikan masukan olehnya.
Yang aku tahu, Zaky adalah
anggota komunitas sastra di kampusnya. Dan mungkin, dia bisa mengerti dengan
cerita buatanku dan aku berharap mendapatkan masukan yang berarti.
”Boleh, dengan senang hati
Han. Bisa main ke rumahmu dong ya? Hehe.”
”Haha, itu sih mau kamu. Besok
aku kabari lagi ya. Udah mulai ngantuk nih!”
”Assssiiikkk... akhirnya
bisa ketemu sama calon mertuaku nih. Oke deh, di tunggu ya kabarnya.”
”Haha, apaan sih? Oke,
see you Ky.”
“See you too Hanum..”
Telepon sudah kami
tutup. Tetapi aku masih saja
memegangi handphone hitamku itu.
Malam ini kesedihanku bisa
ditutupi olehnya. Aku lupa, padahal sore tadi masalah ibu membuatku pusing.
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar