Langsung ke konten utama

Semanis Coklat Part II

Dua hari telah berlalu, tetep aja Rudi belum ngasih kabar tentang Maya. Harapanku mulai pupus, mungkin memang bukan takdirku buat ketemu sama Maya lagi. Tapi jujur, hati kecilku masih mengharapkan cewek pertama yang aku suka itu. Awalnya Maya yang ngejar-ngejar aku, dia yang suka titip salam lewat teman-temanku. Tapi dasar, dulu aku sama sekali tidak menganggapnya. Pikiranku saat itu hanya untuk meraih cita-cita dan membanggakan orang tua, tidak terpikir sedikitpun untuk pacaran, apalagi dengan teman sebaya. Tapi nyatanya saat ini malah aku sendiri yang sibuk mencari kabar cewek itu. Mungkin saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti masalah pacaran, hanya menganggap sebagai teman saja, tidak lebih.  Padahal sejujurnya aku memang suka dengan dia, namun aku tidak berani untuk merespon balik kebaikannya.
Seno membuyarkan lamunanku di kantin. Ahh dia lagi dia lagi, bener-bener nggak bisa liat orang bahagia tuh anak.
“Sorry bro, kemarin si Gina nggak jadi nemuin loe ya? Dia ada jadwal kuliah katanya. Tapi salahnya, dia malah bilang ke gue, bukannya langsung ke loe,” tiba-tiba aja Seno langsung nyerocos kayak bebek.
“Terus?” jawabku dengan kecut.
“Lah kok loe kayak yang ngambek sih? Loe marah ke gue ya? Harusnya loe itu marahnya ke si Gina aja langsung,”
“Pede banget loe, siapa juga yang marah. Udah ah gue udah males ngebahas tentang si Gina. Bodo amat mau gimana juga, udah nggak peduli,” akhirnya aku mulai angkat biacara.
“Ah loe udah punya cewek baru lagi ya? Cepet banget loe dapetinnya. Anak mana? Gimana cantik nggak? Keturunan mana? Sekolahnya dimana? Feminin atau tomboy?”
Dasar si Seno bawel, kalo nanya nggak nanggung-nanggung, nggak mau nunggu jawabannya satu-satu. Terus aja nyerocos, bikin pusing aja ngejawabnya.
“Ada deh…” timpalku singkat.
Tapi dasar Seno, dia tetep nggak patah semangat buat nyari tahu.
“Percuma gue kasih tau juga, loe nggak bakalan tau sama orangnya. Orang gue juga belum ketemu lagi sama ceweknya. Jadi udah deh, jangan sia-siain energi kamu,” ucapku, untuk mendiamkan Seno.
“Ya sudah lah, terserah loe aja Sem” jawabnya dengan pasrah.
***
Gue udah dapet nomornya si Maya nih. Loe berani bayar berapa? Haha.
SMS dari Rudi membuatku terbangun dari tidur siangku. Bahagia, deg-degan, nggak percaya dan segala yang berbau aneh masuk kedalam pikirannku. Saat itu juga aku langsung memikirkan sosok cewek yang pernah aku sukai.
Yes akhirnya… ucapku sambil mencium HP.
Segera aku balas SMS dari Rudi itu, mudah-mudahan nomor yang dia kasih itu beneran nomor Maya.
Thanx Rud. Tapi ini beneran nomor Maya kan? Awas lho, kalo loe nipu gue.
Langsung ku pijit tombol send.
Aku masih belum berani untuk menghubungi Maya, aku terlalu banyak berpikir tentang SMS balasan Maya nanti, padahal jelas-jelas aku belum berani untuk SMS nya.
“Besok aja deh,” akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.
Aku menyimpan HP di meja kamarku, tidak lupa nomor Maya aku simpan terlebih dahulu. Aku pergi ke belakang rumah untuk mengambil handuk.
“Ah.. panas sekali hari ini,” ucapku sambil menggantungkan handuk di bahu, aku membawa segelas air putih di kulkas. Cuaca panas seperti ini memang enak kalau sambil meminum es.
“Besok aku harus berani buat SMS Maya, masa bodo dia mau ngebales apa juga. Yang penting rasa penasaranku harus hilang,” pikirku sambil berlalu ke arah kamar mandi.
***
Hari ini jadwal kuliah cukup santai, tidak ada mata kuliah berat yang bisa membuat mood ku jelek.
“Saat yang pas nih buat SMS Maya,” ucapku dalam hati.
Maya..
Masih ingat aku?
Sebelum menekan tombol send, aku baca lagi SMS yang akan aku kirim itu sambil berharap semoga Maya mau membalasnya. Beberapa menit kemudian, aku yakinkan untuk menekan tombol hijau yang berarti send itu.
Sambil menunggu balasan SMS dari Maya, aku berpikir untuk mengajak Seno ke kantin, sambil bercerita sedikit tentang Maya. Tapi aku juga sedikit malas, soalnya takut kalau Seno malah bikin mood aku jelek.
Ah.. nggak apa-apa deh, kadang-kadang si Seno juga asyik buat di ajak cerita. Aku mencari nomor kontak di HP dengan tulisan Seno dan menekan tombol panggil ketika nama Seno muncul di layar HP.
“Iya ada apa Sem, loe kangen ke gue ya? Hahaha,” terdengar suara Seno di dalam HP.
Ah dasar anak sinting, pede nya nggak abis-abis.
“Nyesel gue telpon loe, padahal tadinya gue mau traktir loe jajan di kantin. Tapi nggak jadi ah, loe nya keburu bikin gue males sih,” kata-kata itu reflex keluar dari mulutku.
“Traktirrr??? Asyikk… gue kesana sekarang ya bro,” Seno langsung menutup telponku.
“Ahhh dasar orang aneh, bener-bener gila tuh anak,” cerocosku kesal. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya