Hari pertama tiba di Bekasi, aku habiskan bersama Rudi. Banyak yang aku ceritakan pada dia, dari mulai masalah cewek, temen-temen kampus yang pada gila dan nggak lupa aku ceritakan keluargaku juga.
Malam itu aku menginap di rumah Rudi, karena ku pikir memang lebih baik seperti itu. Perjalanan Tasik–Bekasi cukup membuatku kelelahan.
Jam sebelas malam kami belum tertidur, mungkin karena terlalu asyik bercerita jadi kami tidak merasa kalau waktu sudah semakin malam. Bahasan terakhir malam itu adalah tentang Maya. Rudi menceritakan Maya setelah aku pergi dari Bekasi. Ternyata Maya saat itu benar-benar suka padaku sampai-sampai dia berani menolak beberapa cowok yang pernah suka padanya. Aku cukup terharu mendengar cerita Rudi, tapi sudahlah semua itu sudah berlalu dan sekarang aku udah ada disini untuknya.
Mungkin aku tertidur sekitar jam 12 malam. Sebelum tidur aku berdo’a dan berharap supaya besok bisa bertemu dengan Maya. Tunggu aku, ucapku dalam hati.
Pagi yang cukup cerah, walaupun tidak se sejuk di Tasik. Hari ini rencanaku bertemu dengan Maya. “Akhirnya… “ ucapku sambil membawa sesuatu di dalam tas.
Aku membawa hadiah yang akan ku berikan nanti saat bertemu dengan Maya. Walaupun hadiah yang akan ku beri nanti tidak terlalu bagus dan mahal, tapi hadiah ini spesial dariku.
Rudi memberikan alamat Maya, ku simpan alamat itu di dalam dompet supaya tidak hilang.
Tinggal beberapa jam lagi, pikirku sambil melihat jam yang terpasang di tangan kiriku itu. Aku berangakat sekitar jam 11 siang dengan menggunakan motor yang aku pinjam ke Rudi. Untung saja ada motor Rudi yang nganggur, jadi aku bisa lebih cepat sampai di rumahnya Maya.
Nomor Maya yang waktu itu diberikan Rudi, sepertinya sudah tidak aktif lagi, soalnya SMS aku yang pertama tidak kunjung di balas olehnya. Biarin, yang penting sekarang aku sudah punya alamat rumahnya, gumamku dalam hati. Kunyalakan motor Kawasaki yang ku pinjam itu dan siap-siap menancap gas. Aku kesana sekarang, lagi-lagi aku berkata sendiri.
Mungkin sekitar satu jam aku berada di perjalanan dan sekarang akhirnya aku sudah sampai di alamat yang Rudi berikan itu. Bergegas motor besar itu aku standarkan dan aku sendiri bersiap merapihkan baju. Kesan pertama harus terlihat baik, pikirku sambil melihat di kaca spion. Sebelum aku memberanikan mengetuk pintu rumahnya, aku mengetes suara terlebih dulu. Nggak penting banget kan? Tapi aku memang melakukan hal seperti itu. Ah Maya benar-benar membuatku melakukan kebiasaan yang tidak pernah ku lakukan.
“Assalamu’alaikum,” kata-kata itu keluar reflex ketika mengetuk pintu. Beberapa menit berlalu, belum ada jawaban sama sekali dari dalam rumah itu. Aku terus mencoba mengetuk pintu sambil memberikan salam, dan akhirnya ada seseorang yang menjawab salamku itu. Deg… tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Suara itu sangat familiar di telingaku.
“Suara itu..,” aku terus mengira-ngira orang yang menjawab salamku itu. Mungkinkah Maya? Suara itu sepertinya pernah ku dengar lima tahun yang lalu.
Suara langkah seseorang semakin mendekatiku. Jantungku berirama semakin cepat, mungkin saat itu aku terlihat salting (salah tingkah) atau yang lebih tepatnya nervous tingkat tinggi. Kalau dipikir-pikir kenapa juga aku bisa bertingkah seperti itu, padahal belum jelas orang yang menjawab salam ku itu siapa. Bisa saja itu ibunya, kakaknya, atau mungkin pembantunya.
Rumah Maya begitu asri dan sejuk, sepertinya Maya rajin merawat bunga-bunga di halamannya itu. Aku mencoba mengatur nafas supaya terlihat lebih santai dan biasa-biasa saja. Suara langkah itu semakin dekat menghampiriku dan tepat di depanku ada sesosok wanita yang akhir-akhir ini ku nantikan. Senyumnya yang khas terlempar padaku saat dia membuka pintu rumahnya. Aku diam terpaku melihatnya, sedikit tidak percaya, tapi dia memang Maya yang kucari. Beberapa detik berlalu, aku balik melempar senyum padanya sambil berkata hai.
Maya mematung ketika menyadari orang yang berada tepat didepannya itu aku. Terlihat ekspresi senang, kecewa dan rindu pada wajahnya yang memerah. Mungkin saat itu Maya juga merasakan hal yang sama padaku dan mungkin dia juga masih mencoba mengatur detak jantungnya.
“Hai.. apa kabar?” kata-kata itu terontar dari mulutku. Memang sih agak sedikit kaku, tapi menurutku itu hal yang wajar.
“Semi? Oh.. kabar baik,” nada Maya terdengar begitu tidak percaya.
“Iya.. masih ingat May?” balasku sambil tersenyum.
“Masih” jawabnya singkat. Jujur aku sedikit kecewa mendengar ucapan itu dari Maya, mungkin memang wajar seorang cewek menjawab dengan jutek perkataan cowok yang pernah menyakitinya itu.
Maya mengajakku untuk masuk dan saat itu aku seperti robot, yang hanya mengiya-iyakan saja perkataan cewek yang sedang bersamaku itu. Satu jam hanyak kami habiskan dengan obrolan-obrolan yang nggak penting. Tapi setelah itu aku mengajak Maya untuk pergi keluar, menghirup udara segar supaya kami tidak terlalu serius dan tegang. Maya menerima ajakkan ku itu dengan syarat aku harus menunggunya ganti baju dulu. Saat Maya pamit untuk mengganti bajunya, aku terduduk sendiri di kursi ruang tamunya yang bermodel minimalis. Aku akan mengajak Maya pergi ke suatu tempat yang nyaman, pikirku.
Ketika dijalan, suasana mulai terasa menyenangkan. Maya sudah mulai bersikap biasa padaku, aku pun sebaliknya. Di taman kota itu, aku meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku perbuat dan aku sangat bersyukur kepada Alloh SWT, karena Maya dengan senang hati mau memaafkanku.
Masih seperti dulu, gumamku.
Saat itu, aku merasa rasa rinduku sudah mulai tersalurkan. Maya mau memaafkanku dan aku merasa bahagia.
Percakapan sore di taman itu aku akhiri dengan kata-kata yang sudah ku siapkan sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar