Ajakan Dimas tadi pagi, membuatku bingung dan senang. Aku bingung, kenapa dia mengajakku bertemu, padahal setahuku tidak ada hal penting yang akan kami bicarakan nanti. Tapi ya sudahlah, mungkin dia memang ada perlu denganku. Dia mengajakku bertemu di kantin depan kampus. Tempat yang cukup ramai, pikirku.
Dimana? Kita jadi ketemu nggak?
Aku mengirim pesan untuk menanyakannya lagi, hanya untuk meyakinkan, siapa tahu tadi pagi itu aku salah dengar.
Dimas tidak membalas pesanku juga, dan aku pikir aku memang salah mendengar percakapannya dipagi itu.
“Ah.. ya sudahlah, jangan terlalu berharap,” gumamku dalam hati.
Jujur, sekarang ini aku memang berharap lebih kepadanya. Mungkin karena kebaikan dia yang terlalu berlebih, membuatku merasa nyaman untuk terus bersamanya. Ya walaupun hanya bersama melalui dunia teknologi.
Jadwal kuliah siang itu memang kosong, sekitar pukul 15.15 nanti dilanjut mata kuliah bahasa. Karena Dimas tidak kunjung membalas pesanku, akhirnya aku putuskan untuk diam di salah satu tempat kost milik teman.
“Aku ikut ke kostan kamu ya Mel, nggak apa-apa kan?” untuk yang kedua kalinya aku meminta izin kepada Amel. Ya aku takut dia merasa terganggu dengan kedatanganku.
Amel hanya tersenyum dengan perkataanku itu, bertanda dia mengijinkanku pergi bersamanya.
“Mil.. kalau punya masalah, cerita dong. Jangan disimpan sendiri. Kamu nggak anggap aku temanmu ya?”
Aku sedikit tertegun dengan perkataan Amel. Kenapa dia bertanya seperti itu? Apakah aku memang terlihat sedih?
“Kenapa nanya gitu Mel? Aku nggak apa-apa kok,” aku mencoba menyembunyikan perasaanku.
Sengaja aku memalingkan muka kearah HP yang aku pegang. Aku takut, kalau Amel bisa membaca raut mukaku. Temanku yang satu itu memang sangat mengerti aku.
“Mil, percuma deh kalau kamu mau bohong ke aku. Ayo cepet cerita,” desaknya.
Bagaimana pun aku memberinya alasan, pasti dia tidak akan menerimanya. Sahabatku itu memang teman terdekatku, dan dia hampir tahu semua fakta hidupku. Sekitar tujuh tahun kami bersama, waktu itu dia murid pindahan dari Pekanbaru. Aku rasa tujuh tahun itu cukup untuk kita saling mengetahui satu sama lain.
“Iya Mel. Biasa, keluarga aku lagi nggak bener lagi. Udah deh ah, aku lagi nggak mau ngomongi itu. Nanti aja deh aku ceritanya, kalau udah sedikit membaik. Oke?”
Deg… Dimas… jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kaget, tidak percaya, sakit hati, sedih, kecewa. Semua rasa, campur aduk di siang itu. Sepeda motor yang dilajukan Amel begitu saja melewati jalan yang cukup ramai. Tepat di depan mata, aku melihat Dimas berboncengan dengan perempuan, yang entah siapa dia. Perempuan itu memeluk Dimas erat-erat, dan aku melihat, sepertinya Dimas tersenyum bahagia bersamanya. Sepertinya aku cemburu melihatnya, dan inilah hal yang sangat aku benci. Aku sadar, aku memang bukan siapa-siapanya, bahkan untuk dibilang teman pun, sepertinya aku tidak pantas, karena, memang aku baru dua kali bertemu dengannya, dan itupun dalam waktu yang sangat singkat.
“Mel, bisa lebih cepat nggak? Aku ngantuk,” pintaku dengan suara sedikit gemetar.
“Mil.. kamu nggak apa-apa?” jawab Amel sambil melirikku di kaca spion.
“Nggak,” jawabku singkat.
Sepertinya Amel tahu perasaanku sedang tidak baik, karena setelah mendengar jawabanku itu, dia hanya mengikuti perintahku, untuk mempercepat laju sepeda motornya. (bersambung)
Dimana? Kita jadi ketemu nggak?
Aku mengirim pesan untuk menanyakannya lagi, hanya untuk meyakinkan, siapa tahu tadi pagi itu aku salah dengar.
Dimas tidak membalas pesanku juga, dan aku pikir aku memang salah mendengar percakapannya dipagi itu.
“Ah.. ya sudahlah, jangan terlalu berharap,” gumamku dalam hati.
Jujur, sekarang ini aku memang berharap lebih kepadanya. Mungkin karena kebaikan dia yang terlalu berlebih, membuatku merasa nyaman untuk terus bersamanya. Ya walaupun hanya bersama melalui dunia teknologi.
Jadwal kuliah siang itu memang kosong, sekitar pukul 15.15 nanti dilanjut mata kuliah bahasa. Karena Dimas tidak kunjung membalas pesanku, akhirnya aku putuskan untuk diam di salah satu tempat kost milik teman.
“Aku ikut ke kostan kamu ya Mel, nggak apa-apa kan?” untuk yang kedua kalinya aku meminta izin kepada Amel. Ya aku takut dia merasa terganggu dengan kedatanganku.
Amel hanya tersenyum dengan perkataanku itu, bertanda dia mengijinkanku pergi bersamanya.
“Mil.. kalau punya masalah, cerita dong. Jangan disimpan sendiri. Kamu nggak anggap aku temanmu ya?”
Aku sedikit tertegun dengan perkataan Amel. Kenapa dia bertanya seperti itu? Apakah aku memang terlihat sedih?
“Kenapa nanya gitu Mel? Aku nggak apa-apa kok,” aku mencoba menyembunyikan perasaanku.
Sengaja aku memalingkan muka kearah HP yang aku pegang. Aku takut, kalau Amel bisa membaca raut mukaku. Temanku yang satu itu memang sangat mengerti aku.
“Mil, percuma deh kalau kamu mau bohong ke aku. Ayo cepet cerita,” desaknya.
Bagaimana pun aku memberinya alasan, pasti dia tidak akan menerimanya. Sahabatku itu memang teman terdekatku, dan dia hampir tahu semua fakta hidupku. Sekitar tujuh tahun kami bersama, waktu itu dia murid pindahan dari Pekanbaru. Aku rasa tujuh tahun itu cukup untuk kita saling mengetahui satu sama lain.
“Iya Mel. Biasa, keluarga aku lagi nggak bener lagi. Udah deh ah, aku lagi nggak mau ngomongi itu. Nanti aja deh aku ceritanya, kalau udah sedikit membaik. Oke?”
Deg… Dimas… jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kaget, tidak percaya, sakit hati, sedih, kecewa. Semua rasa, campur aduk di siang itu. Sepeda motor yang dilajukan Amel begitu saja melewati jalan yang cukup ramai. Tepat di depan mata, aku melihat Dimas berboncengan dengan perempuan, yang entah siapa dia. Perempuan itu memeluk Dimas erat-erat, dan aku melihat, sepertinya Dimas tersenyum bahagia bersamanya. Sepertinya aku cemburu melihatnya, dan inilah hal yang sangat aku benci. Aku sadar, aku memang bukan siapa-siapanya, bahkan untuk dibilang teman pun, sepertinya aku tidak pantas, karena, memang aku baru dua kali bertemu dengannya, dan itupun dalam waktu yang sangat singkat.
“Mel, bisa lebih cepat nggak? Aku ngantuk,” pintaku dengan suara sedikit gemetar.
“Mil.. kamu nggak apa-apa?” jawab Amel sambil melirikku di kaca spion.
“Nggak,” jawabku singkat.
Sepertinya Amel tahu perasaanku sedang tidak baik, karena setelah mendengar jawabanku itu, dia hanya mengikuti perintahku, untuk mempercepat laju sepeda motornya. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar