Ucapan mama di pagi itu, sepertinya bukan main-main. Tanda-tanda ke arah berpisah, sepertinya semakin terlihat. Ya sepertinya mama berniat untuk berpisah untuk yang kedua kalinya. Aku tahu, dulu dan sekarang itu, kesalahan memang tidak sepenuhnya berada di mama, justru menurutku papaku lah yang bersalah. Tetapi mungkin karena ego keduanya tidak bisa ditahan lagi, akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Kalau sekarang? Memang sih, terkadang mama dan papaku yang kedua ini terlihat seperti biasa-biasa saja, tidak ada masalah yang serius. Tapi aku tahu kok, dibalik semua itu mereka menyimpan rahasia masing-masing. Aku tahu, karena jujur, diam-diam aku menyelidiki mereka.
Dosa? Ya, sepertinya aku memang berdosa, karena telah mengorek-ngorek rahasia orang lain. Tapi sesungguhnya, semua itu aku lakukan karena aku ingin tahu bagaimana kondisi keluarga ini sebenarnya.
“Uhh.. sepertinya perut ini mulai berdemo untuk diberi makan. Padahal tadi siang aku makan cukup banyak, kenapa sekarang udah laper lagi ya?” gerutuku dalam hati.
Aku lihat jam berbentuk gitar di kamarku itu, ternyata waktu menunjukkan pukul 08.00 malam. “Ya pantas saja lapar,” ucapku sambil tersenyum sendiri.
Malam itu mama memasak sayur sop kesukaanku, dan tanpa di suruh pun aku akan menambah porsi makan malamku itu. “Assyikkkk… yummy ma, thank you,” tuturku sambil menggelayut manja ke tangan mama.
Siapa yang akan menolak masakkan favorit di tengah perut yang sedang keroncongan? Aku? Tentu saja, tidak ingin menolak, bahkan aku bisa menambah porsi tiga kali lipat untuk makan makanan favoritku itu. Rakuskan? Hehehe.
“Mil.. mama punya keinginan buat benerin rumah kita yang dulu deh. Soalnya bagaimanapun juga itu kan rumah kita, kita harus bisa merawat dan menjaganya sebaik mungkin,” ucap mama, membuka percakapan di meja makan malam itu.
“Hmm.. dalam rangka apa mah? Milda juga pengen sih, tapi Milda nggak punya uangnya, hehehe. Mama ada masalah?” aku sedikit ragu-ragu menanyakannya.
Ya bagaimana pun, kita sebagai anak harus bisa menjaga perasaan orang tua kita. Bahkan kalau bisa, kita harus bisa menyembunyikan rasa sedih atau marah, ketika orang tua kita berkata yang kurang enak untuk di dengar.
“Mama capek Mil…,” akhirnya kata-kata itu keluar dengan lirih dari mulut mamaku.
Aku sedikit menarik nafas, mencoba mengendalikan rasa sedihku. “Aku harus terlihat tegar dan kuat,” ucapku dalam hati.
“Mama capek kenapa? Kalau ada masalah, cerita dong sama Milda, kan Milda anak mama. Mama capek karena papa?” aku berkata sedikit pelan, dan mencoba untuk tenang.
Makan malam itu seperti makan malam terburuk bagiku. Niatku untuk menambah porsi makan, sepertinya akan ku urungkan, karena jangankan untuk menambah, untuk menelan makanan pun sepertinya tenggorokanku menolak.
“Kalau kita balik lagi ke rumah yang dulu, nggak apa-apa kan? Kita masih bisa memperbaikinya kok. Lagian, menurut mama, rumah itu nggak terlalu jelek,” nada perkataan mama saat itu, memang sedikit hati-hati. Mungkin untuk menjaga perasaanku juga.
“Ya mama, emang ngaruh gitu buat aku, tinggal di tempat mewah atau kecil? Bagiku, asalkan bersama mama, itu udah jauh lebih dari cukup. Dulu juga kan kita bisa hidup tanpa papa, kenapa sekarang nggak? Kita pasti bisa mah, aku percaya, mama juga pasti bisa melewatinya,” air mataku, sepertinya sudah mulai berdemo untuk keluar lagi. (bersambung)
Dosa? Ya, sepertinya aku memang berdosa, karena telah mengorek-ngorek rahasia orang lain. Tapi sesungguhnya, semua itu aku lakukan karena aku ingin tahu bagaimana kondisi keluarga ini sebenarnya.
“Uhh.. sepertinya perut ini mulai berdemo untuk diberi makan. Padahal tadi siang aku makan cukup banyak, kenapa sekarang udah laper lagi ya?” gerutuku dalam hati.
Aku lihat jam berbentuk gitar di kamarku itu, ternyata waktu menunjukkan pukul 08.00 malam. “Ya pantas saja lapar,” ucapku sambil tersenyum sendiri.
Malam itu mama memasak sayur sop kesukaanku, dan tanpa di suruh pun aku akan menambah porsi makan malamku itu. “Assyikkkk… yummy ma, thank you,” tuturku sambil menggelayut manja ke tangan mama.
Siapa yang akan menolak masakkan favorit di tengah perut yang sedang keroncongan? Aku? Tentu saja, tidak ingin menolak, bahkan aku bisa menambah porsi tiga kali lipat untuk makan makanan favoritku itu. Rakuskan? Hehehe.
“Mil.. mama punya keinginan buat benerin rumah kita yang dulu deh. Soalnya bagaimanapun juga itu kan rumah kita, kita harus bisa merawat dan menjaganya sebaik mungkin,” ucap mama, membuka percakapan di meja makan malam itu.
“Hmm.. dalam rangka apa mah? Milda juga pengen sih, tapi Milda nggak punya uangnya, hehehe. Mama ada masalah?” aku sedikit ragu-ragu menanyakannya.
Ya bagaimana pun, kita sebagai anak harus bisa menjaga perasaan orang tua kita. Bahkan kalau bisa, kita harus bisa menyembunyikan rasa sedih atau marah, ketika orang tua kita berkata yang kurang enak untuk di dengar.
“Mama capek Mil…,” akhirnya kata-kata itu keluar dengan lirih dari mulut mamaku.
Aku sedikit menarik nafas, mencoba mengendalikan rasa sedihku. “Aku harus terlihat tegar dan kuat,” ucapku dalam hati.
“Mama capek kenapa? Kalau ada masalah, cerita dong sama Milda, kan Milda anak mama. Mama capek karena papa?” aku berkata sedikit pelan, dan mencoba untuk tenang.
Makan malam itu seperti makan malam terburuk bagiku. Niatku untuk menambah porsi makan, sepertinya akan ku urungkan, karena jangankan untuk menambah, untuk menelan makanan pun sepertinya tenggorokanku menolak.
“Kalau kita balik lagi ke rumah yang dulu, nggak apa-apa kan? Kita masih bisa memperbaikinya kok. Lagian, menurut mama, rumah itu nggak terlalu jelek,” nada perkataan mama saat itu, memang sedikit hati-hati. Mungkin untuk menjaga perasaanku juga.
“Ya mama, emang ngaruh gitu buat aku, tinggal di tempat mewah atau kecil? Bagiku, asalkan bersama mama, itu udah jauh lebih dari cukup. Dulu juga kan kita bisa hidup tanpa papa, kenapa sekarang nggak? Kita pasti bisa mah, aku percaya, mama juga pasti bisa melewatinya,” air mataku, sepertinya sudah mulai berdemo untuk keluar lagi. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar