Ah.. akhirnya liburan semester datang juga. Kembali kerencana semula, liburan semester ini akan aku isi dengan liburan di Bekasi. Aku udah ngasih tau saudara yang ada disana supaya mau menampungku beberapa minggu. Jelas, ajakan Seno sudah ku tolak dari awal, padahal sebenarnya aku juga ingin pergi kesana, tapi saat ini yang paling aku mau adalah bertemu dengan Maya.
Packing-packing udah, sekarang tinggal menyiapkan diri. Aku berangkat dari rumah jam 16.00, karena ku pikir jam segitu udaranya sudah mulai enak nggak terlalu panas. Paling aku sampai sana jam 20.00. Memang sih tujuan pertama ku datang ke Bekasi itu karena Maya, tapi aku juga rindu saudara-saudara yang ada disana. Mungkin hampir lima tahun aku nggak pernah kesana lagi. Tau nomor Rudi pun dari jejaring social facebook, waktu itu aku meminta nomornya. Tapi sayangnya, ketika aku mencari nama Maya di facebook, tidak kutemukan nama Maya yang ku maksud. Banyak akun yang keluar ketika aku menuliskan nama Maya, tapi nggak ada satupun Maya yang ku maksud. Mungkin memang aku harus menemuinya langsung.
Maya…Maya, kenapa akhir-akhir ini kamu suka muncul dipikiranku terus sih? Padahal sebelumnya aku nggak pernah mengingatmu lagi. Aku SMS Rudi untuk mengabari kalau aku sudah berangkat. Aku meminta dia untuk menjemputku di terminal. Memang sih merepotkan, tapi biarlah sesekali.
Aku sempat tertidur di dalam bus, dan tahukah kalian, di dalam tidurku itu aku memimpikan seorang Maya yang sedang menungguku. Wajahnya masih seperti dulu, bersih, putih dan masih sedikit malu-malu. Begitu anggunnya dia, begitu tenang dan sabar menunggu kedatanganku. Menyesal, itu sudah pasti ada di pikiranku, mungkin tidak ada satupun orang yang tidak akan menyesal meninggalkan cewek sebaik Maya. Ketika aku panggil namanya, dia menoleh kepadaku sambil tersenyum manis. Ahh.. Maya, kamu benar-benar membuatku hatiku bergetar. Dia masih mengenaliku, dia masih bersikap seperti dulu ketika SMP. Di dalam mimpiku, Maya memakai baju merah jambu, warna kesukaannya. Pipinya memerah ketika aku menghampiri sambil memeluknya. Kupeluk dia erat-erat, rasa rindu yang sekian lama aku tahan, seolah-olah tumpah ruah disana dengan penyesalanku.
Maya.. ku eratkan pelukanku itu. Maya membalas pelukanku dengan erat lagi. Mungkin kami memang sama-sama rindu. Mimpi indah itu lenyap seketika ketika bus yang aku tumpangi mengerem mendadak.
“Argghh… sitt…,” kata-kata itu keluar dari mulutku.
Ada apa sih, ngerem mobil kok seenaknya, nggak sadar bawa nyawa banyak yah tuh sopir. Kayak yang punya nyawa ganda aja. Mimpi indahku jadi lenyap begitu saja. Aku terus mengucapkan kata-kata kesal, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika aku tanyakan orang yang duduk disebelahku, dia juga sama-sama tidak tahu karena memang dia juga tertidur. Jam tangan bermerk Swatch menunjukan jam tujuh malam.
Sebentar lagi sampai, pikirku sambil membenahi posisi duduk. Aku mengambil HP yang kusimpan di saku celana, dan ku cari nama Rudi di HP ku itu.
Rud, sebentar lagi gue nyampe, kamu siap-siap ya. Gue nggak mau nunggu loe lama.
Oke bro..
Lagi-lagi aku menyuruh Rudi seenaknya. Itu memang salah satu kebiasaan burukku, setiap orang yang udah aku anggap sebagai temen deket, pasti aku nggak segan-segan buat meminta atau menyuruh sesuatu. Kebiasaan ini emang susah banget buat di ilangin. Mama pernah menasehatiku ketika aku menyuruh Seno seenaknya, tapi tetap saja aku tidak mendengarnya. Malah aku menjawabnya dengan nada datar dan seenaknya. Tapi untungnya semua temanku itu bisa mengerti dan nggak pernah protes. Walaupun sesekali aku tahu kalau mereka itu kurang suka dengan sikapku. Mungkin karena sewaktu kecil aku terlalu dimanja, jadi kebiasaan itu terbawa sampai aku dewasa.
***
Huh.. akhirnya sampai juga di kota kelahiranku ini. Bekasi kali ini sudah banyak berubah, nggak seenak dulu. Semakin panas hampir sama dengan Jakarta. Tasik memang sejuk, walaupun sekarang pepohonan sudah banyak yang di tebang, tapi udaranya masih terbilang dingin.
Aku menelpon Rudi untuk mengabari kedatanganku.
“Iya hallo Rud, loe dimana? Gue udah nyampe nih,” aku segera menanyakan keberadaan Rudi, ketika dia menjawab telponku.
“Iya gue di deket warung kopi. Loe dimana?” Rudi balik bertanya.
“Gue di depan yang jualan makanan ringan. Di sebelah mana sih itu warung kopi? Loe kesini aja deh,” jawabku
“Oh itu elo? Gue ngeliat loe nih. Balik arah deh loe, gue angkat tangan supaya loe gampang nemuin gue,” balas Rudi.
“Oke. Man aloe? Gue belum liat!” sambil menelpon mataku celingak-celinguk mencari sosok Rudi.
“Ah dasar loe, gue segede ini masa loe nggak ngeliat sih? Makanya buka mata loe lebar-lebar,” Rudi malah mengejekku.
“Ah itu dia. Gue udah liat loe Rud, sekarang gue samperin loe,” aku tutup telpon, karena sudah menumukan sosok Rudi.
Hahaha.. ternyata dia nggak jauh berbeda. Masih gede seperti dulu. Pantas saja aku kalah melawan dia, wong badannya segede-gede gajah sih. Hahaha. Ejekku dalam hati, sambil berjalan ke arah Rudi.(bersambung)
Komentar
Posting Komentar