Langsung ke konten utama

Serpihan Masa Lalu (Part I)

Pagi itu, aku memulai aktivitas di rumah seperti biasanya. Tidak ada yang salah dengan pagi itu, hanya saja ada sedikit perkataan mama yang cukup membuatku tertegun. Bukan, bukan karena saya malu, tetapi saya tidak ingin mengalami masa-masa seperti dulu. Walaupun dulu dan sekarang tidak jauh berbeda, namun ada sedikit rasa lega dan aman menyelimuti hatiku sajauh ini. Aku tahu, apapun yang telah diberikan Tuhan kepadaku itu memang yang terbaik, tapi sungguh, aku ini hanya orang biasa yang jauh dari sempurna. Untuk merasa ikhlas dan sabar itu memang sulit, tetapi itulah kewajiban manusia. Dan itu adalah tugas terberatku saat ini. Rasa-rasanya ingin ambruk, tetapi saya akan kalah dengan keadaan seperti itu.

Hal terburuk bagiku adalah merasa kalah dan tidak berguna. Semua orang memang pasti pernah merasa kalah atau gagal, namun di balik kekalahan dan kegagalan itu, kita harus berusaha untuk bangkit dan menjadi lebih baik lagi. Aku pun ingin seperti itu, setelah bertahun-tahun berada di dalam kekalahan, saat ini aku mulai bangkit. Tetapi, perkataan mama dipagi itu, sepertinya akan membuatku merasa kalah lagi.

Wajar sekali, ketika kita merasa jatuh, banyak pikiran-pikiran negatif yang muncul ke dalam otak. Wajar apabila kita ingin melampiaskan kekesalan ini dengan hal yang mungkin akan membuat kita senang untuk sesaat, tetapi akan merugikan dikemudian hari. Menurutku semua itu wajar, tetapi aku tidak ingin seperti itu. Bayang-bayang masa lalu yang tidak begitu baik, hari ini berhasil menari-nari di pikiranku lagi. Jangankan untuk memperhatikan salah satu mata kuliah, untuk makan pun sepertinya akan sulit. Ya.. ya .. ya.. hari ini tidak banyak yang ingin aku perbuat, yang aku inginkan adalah ketenangan dan sendiri. Sendiri di tempat sunyi dan tidak ada satu pun orang yang mengganggu. Aku berhasil menemukan tempat itu, sungguh!

Pukul 11.30, menandakan habis mata kuliah dipelajaran itu. Dua jam berada di kelas, seperti satu setengah abad bagiku. Untung saja hari ini hanya ada satu mata kuliah, dan sungguh aku merasa senang, apalagi dengan kondisi yang seperti ini. Ajakan teman-teman untuk makan, langsung aku tolak seketika, karena yang aku mau adalah bergegas ke tempat persembunyianku itu. Tempat sepi, gelap dan yang pasti tidak ada orang yang mengganggu.

“Ayo Mil kita makan, anak-anak yang lain sudah pada duluan tuh,” ajak Amel di depan kelas.

Tadinya aku ingin menerima ajakan itu, karena mungkin bisa membuyarkan suasana hatiku saat itu. Tetapi setelah dipikir-pikir, sepertinya kalau aku ikut, aku akan memperkeruh suasana makan di siang itu deh. Kasihan teman-teman, pikirku.

“Oh.. Nggak ah Mel, lagi nggak mood nih. Kalian aja deh, have fun ya..” jawabku.

Aku dan Amel berpisah di koridor kampus. Arah kami memang berlawanan, jadi seketika itu juga kami pergi masing-masing. Aku berjalan sendirian menju tempat parkir, dan sungguh saat itu juga aku sudah tidak tahan untuk menahan tangis ini. Gerak langkahku semakin cepat, apalagi ketika genangan air di mataku, sudah berdesakan ingin keluar. Andai saja aku mempunyai kantong ajaib seperti Doraemon yang ada di cerita-cerita kartun itu, pasti akan aku keluarkan pintu kemana saja, dan aku akan segera tiba di tempat persembunyianku itu.

“Ahh.. akhirnya sampai juga. Sepi, tenang dan damai,” pikirku.

Ku hirup udara di sekitar, sedikit tercium bau apek, dan bau rumah yang sudah tidak dihuni oleh pemiliknya. Ya, tempat persembunyianku itu adalah rumahku sendiri. Rumah dimana aku dibesarkan dan menerima segala fakta kehidupan. Rumah ini, kamar ini, memang akan selalu terasa damai bagiku. Walaupun tidak sebagus rumah yang ku huni sekarang, tapi sungguh, aku lebih merasa nyaman disini.

Kuhempaskan badanku di atas ranjang yang sudah lama tidak terpakai itu. Ketika itu juga ku luapkan segala masalah yang selama ini terus menari-nari di pikiranku. Disini aku hanya menangis, tidak melakukan yang lain, tidak melakukan hal-hal negatif yang selama ini masuk di daftar hadir pikiranku.

Tuhan.. aku pasti kuat. Cobaan ini akan segera berakhir. Aku yakin itu! (bersambung)

Komentar

  1. bagus...lanjutkan.....
    nge blog itu harus semangat...
    jangan pernah berhenti ^^
    mungkin sekarang eno nge blog cuma buat iseng atau salurin bakat menulis.
    tapi suatu saat blog eno bakalan ngasilin duit.
    semangat ya......

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Saat Foto Box

Anak muda sekarang nggak foto-foto ? hmm... kayaknya kurang gaul deh, soalnya di jaman yang udah canggih ini, difoto itu udah jadi kebiasaan baru bagi remaja sekarang. Ada beberapa tips nih buat kalian yang suka foto box. 1. Pilih tempat yang nyaman Biasanya foto box itu suka ada di tempat-tempat yang ramai, seperti mall, plaza dll. Nah kalian tinggal pilih tempat yang paling menarik perhatian dan tentunya bagus juga. 2. Ajak teman atau orang terdekat kita Pastinya nggak asik dong kalau kita foto-foto sendiri, apalagi kalo difoto box , kesannya itu bakalan nggak hidup, terus kita juga nggak ada temen buat ber-ekspresi. 3. Berganti gaya dengan cepat Kalian harus tau, Foto box nggak seperti foto biasa, jadi setiap satu kali foto, kita harus cepet-cepet ganti gaya lagi, soalnya foto box itu diwaktu. Jadi sebelum kita difoto, kita harus mikirin gaya dan ekspresi apa aja yang bakalan kita tunjukin. 4. Tunjukin gaya yang paling keren Sia-sia dong kalo pas lagi di foto, gaya kita cuma biasa-

One Team, One Spirit, One Goal !!

Pemberian Simulasi Penulisan Salah satu kru layout Xpresi (Imam) mempresentasikan dami buatannya Masih kru layout Xpresi (Teteng Randi) mempresentasikan dami halaman galerinya Reporter Xpresi, belajar wawancara dan membuat artikel Wawancara bertemakan kehidupan anak gank di sekolah Teteng, Imam dan Riko, simulasi membuat dami untuk halaman All crew Xpresi memulai simulasi

Senja dengan Biru

Aneh, menurutku aneh saja tiba-tiba ada wanita yang menghampiriku, mengulurkan tangannya,  duduk disebelahku tanpa dipersilahkan, dan menatap senja bersama-sama. Aku sendirian, dia pun sama. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami merasa dekat satu sama lain. Aku mengenal Senja seperti senja yang biasa aku lihat, dia datang dan pergi begitu saja. Kami bertemu, di satu minggu itu kami selalu menatap senja bersama-sama. Kami hanya sebagai penikmat senja, yang kebetulan dipertemukan, atau mungkin memang ditakdirkan untuk bertemu. Ya, aku percaya Pencipta senja itu telah menyusun rencana untuk mempertemukan kami. “Mengapa namamu Senja?” tanyaku tanpa berharap jawaban. Tatapanku tidak bertitik, sesekali memang menoreh kepada Senja, tapi segera ku alihkan kembali kepada senja yang lain ketika dia mulai menyadari sedang diperhatikan. “Aku menyukai senja sejak kecil, orang tuaku juga sama-sama penikmat senja, kami selalu menikmati senja bersama,” ujar gadis bernama Senja itu. Rambutnya ya